Selasa, 27 Desember 2016

Kunjungan MA. Attaqwa Puteri Ke Malang (Hari Kedua)



Selasa, 20 Desember 2016

Saya lihat jam di HP masih menunjukkan pukul 05.00. tumben sekali jam segini udah bangun. Biasanya jam segini masih belum tidur atau bahkan baru mau mulai tidur. Karena jika saya tidur sebelum subuh biasanya saya tidak akan bangun subuh. Makanya saya tidur habis subuh biar tidak ketinggalan sholat subuhnya. Setelah saya menunaikan sholat subuh, saya bingung mau melakukan apa. Mau tidur lagi sudah tidak bisa. Akhirnya saya teringat akan agenda hari ini. Ternyata pilihan itu masih membuat saya dilema. Mau UKM atau ikut jalan-jalan. Ada seorang saudara jauh saya yang kuliah di malang yang orangtuanya merupakan kepala sekolah MA. Attaqwa puteri. Dia menghubungi saya bahwasanya dia akan menjemput saya pukul 06.30 untuk ikut ke hotel. Awalnya sih cuman mau ikut sarapan aja. Soalnya bagi saya, tanggal seperti ini bukan lagi tanggal yang layak untuk sarapan. Mumpung gratis yaa saya terima saja ajakannya. Setelah mandi dan siap-siap, jemputan pun datang. Setelah sampai hotel saya pun langsung menuju tempat makan. Tanpa Ba Bi Bu saya langsung menyerbu meja prasmanan. Yaa gimana sih, mahasiswa tua plus dalam keadaan tanggal tua. Yaaa kalap lah. Porsi yang saya ambil tidak layak dikatakan sebagai porsi sarapan, lebih tepatnya porsi tumpeng. Lauknya boleh sedikit yang penting nasinya banyak.

Setelah makan,  merupakan puncak dari kegaluan saya hari ini. Disatu sisi saya ingin ikut acara di UKM. Karena sosok Soe Hok Gie sangat menginspirasi saya. Di sisi yang lain saya tidak enak dengan saudara saya. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak ikut jalan-jalan tetapi ikut acara di UKM. Karena yang saya fikirkan adalah ribetnya jalan-jalan dengan yang namanya wanita. Satu wanita saja sudah ribet apalagi 4 bus wanita heheh. Tetapi, ketika sudah sampai di lobby hotel saya singgah sebentar di salah satu minimarket untuk membeli eskrim. Dan disana ada saudara saya itu. Yaudah saya disuruh untuk membawakan tas anak beliau masuk ke dalam Bus. Waah ini bau-baunya sudah tidak bisa melarikan diri. Tapi, akal busuk saya masih bekerja. Setelah masuk bus, saya bilang mau ke minimarket lagi untuk menyapa beberapa alumni pondok yang sama-sama melanjutkan kuliah di malang. Padahal mah mau melarikan diri. Setelah bisa keluar dan pura-pura ngobrol dengan mereka (alumni pondok) terdengar teriakan seseorang yang memanggil nama saya. Saya sangat kenal dengan suara itu. Ternyata suadara saya itu mengerti akal bulus saya untuk tidak ikut. Akhirnya mau tidak mau saya ikut dalam perjalanan kali ini. Dan saya ditempatkan di Bus 4. Bus yang tidak ada sama sekali guru-guru senior disana. Yang ada hanya salah satu kakak kelas saya, santri Pesantren Tinggi Attaqwa (PTA) dan salah satu crew Berkah Tour n Travel. Waaah pas sekali. Saya bisa sedikit “menggila” ditambah dengan supir bus yang sangat bersahabat dan sering melemparkan guyonan yang membuat seisi bus tertawa. Mungkin dari seluruh bus. Bus 4 ini merupakan Bus yang paling damai (tidak ada gangguan) dan paling berisik.

Kunjungan MA. Attaqwa Puteri ke Malang (Hari Pertama)



Senin, 19 Desember 2016

Pukul 14.00 saya sedang duduk didepan salah satu minimarket dibilangan jalan Soekarno-Hatta, Malang. Langit sudah mulai gelap. Keadaan seperti ini sudah biasa terjadi ketika malang dilanda musim hujan. Seperti sudah terpola. Habis dzuhur pasti akan turun hujan. Hari ini adalah hari dimana saya akan kedatangan pasukan dari MA.Attaqwa Pusat Puteri. Mereka akan mengadakan kunjungan selama 3 hari di kota Malang. Kunjungan ke tempat-tempat wisata yang ada di Malang Raya. Dimulai dengan pergi ke masjid Tibba dibilangan Turen.

Tidak terasa hujan turun semakin deras. Saya masih masih ditempat yang sama menunggu mereka tiba dihotel tempat mereka menginap. Entah sudah berapa gelas kopi dan berapa halaman buku yang sudah saya lahap untuk membunuh waktu. Ketika saya membaca jadwa yang diberikan oleh pihak sekoah. Mereka seharusnya tiba dipenginapan pukul 14.00. tetapi, sampai pukul 14.30 pun mereka belum tiba. Mungkin mereka sedang terjebak kemacetan. Karena saya melihat jalanan didepan saya penuh dengan kendaraan yang mengantri untuk berjalan. Akhirnya mereka tiba pukul 15.30.

Perlahan perserta perjalanan kali ini turun dari bus. Perjalanan kali ini menggunakan salah satu biro perjalanan yang dikelola oleh salah satu alumni Pondok Pesantren Attaqwa. Kalau tidak salah namanya adalah ”Berkah Tour n Travel”. Wajah-wajah lusuh, capai menghiasi pemandangan saya. Wajar saja. Setelah menempuh perjalanan selama 16 Jam menggunakan kereta api Matarmaja yang dikenal sangat tidak ramah untuk pantat penumpangnya. Ditambah lagi dengan mereka langsung menuju masjid Tibban. Saya menjadi bingung, ini liburan atau bagaimana. Liburan kok tidak ceria hehehe. Yaa mungkin mereka baru pertama kali menempuh perjalanan darat yang jauh. karena hampir 90% dari santri itu berasal dari daerah Jabotabek. Padahal, setelah ini mereka akan kembali melanjutkan perjalanan ke Alun-Alun Kota Wisata Batu (menurut rundown acara).

Setelah permasalah terkait penurunan barang-barang bawaan, mereka segera melanjutkan untuk check-in penginapan. Saya ikut membantu sebisa saya. Walaupun pihak tour n travel nya sudah mempunyai crew. Walaupun hanya sebatas mengatur lalu lintas lift hehehe. Sebenarnya tujuan saya bukan untuk membantu pihak Tour Travel (emang ga membantu sih malah tambah bikin repot) tapi untuk menemui saudara saya yang ikut dalam perjalanan kali ini. Kebetulan saudara saya menjadi staff pengajar di MA. Attaqwa Puteri. Dan juga karena orang tua saya sudah bawel dari pagi sudah nelon agar saya menemui saudara saya tersebut.

Akhirnya ketemu lah saya dengan saudara saya tersebut. Tidak ada yang istimewa sebenarnya. Tapi kalau boleh jujur, saya lebih dekat dengan saudara saya ini dibandigkan dengan orangtua saya sendiri. Karena saudara saya ini lah yang menjadi orangtua saya ketika saya bersekolah di Pondok Pesantren Attaqwa Putera. Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata jasa beliau terhadap saya. Saya sendiri menganggap kalau saya sudah dianggap seperti anak sendiri oleh mereka. Kapan lagi bisa membalas kebaikan beliau. Walaupun hanya sebatas membawakan belanjaan atau hanya mendengarkan nasihat-nasihat (baca:omelan)  dari beliau.  Karena itu lah saya memutuskan untuk ikut dalam perjalanan kali ini.

Jumat, 16 Desember 2016

Selamat Ulang Tahun Soe Hok Gie : Apa Kabar Mahasiswa?

“…… tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.”
(Soe Hok Gie)

Sabtu, 17 Desember 2016

Hari ini saya teringat akan seorang tokoh yang saya idolakan. Soe Hok Gie namanya. Beberapa hari yang lalu saya membaca kumpulan tulisan beliau di dalam sebuah buku yang berjudul Zaman Peralihan. Disana kita bisa membaca kumpulan tulisan Soe Hok Gie dalam beberapa kategori. Masalah Kebangsaan, Masalah kemahasiswaan, Masalah Kemanusiaan dan Catatan Turis Terpelajar merupakan kategori yang terdapat dalam buku tersebut.

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 dan meninggal sehari sebelum ulang tahunnya, 16 Desember 1969. Hok Gie merupakan seorang tokoh mahasiswa tahun 1966 yang berperan dalam demontrasi ditahun tersebut. Idealis dan Kritis merupakan dua kata yang sangat melekat pada Gie. Sosok yang berani mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Jika boleh bercerita, saya mengenal sosok satu ini dari sebuah film yang berjudul Gie (2005). Film yang diilhami dari harian Soe Hok Gie yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demontran. Pada awal menonton film ini, perhatian saya hanya jatuh kepada pendakian gunung semata. Maklum lah karena pada saat pertama kali menonton film ini saya masih duduk dibangku sekolah menengah pertama. Setelah saya menonton film ini lagi ketika tahun pertama kuliah, saya paham akan kenapa Gie naik gunung. Dalam film Rudi Habibi, ketika Habibi ada masalah, beliau sholat untuk merenung dan menyelesaikan masalahnya. Begitu juga dengan film Gie ini. Ketika ada suatu masalah, pelarian atau perenungan masalah ini dilakukan dengan naik gunung. Tetapi, bukan hanya itu alasan Gie naik Gunung. Dalam tulisannya “Menaklukkan Gunung Slamet” (Kompas, 14,15,16,17,18 Desember 1967), Gie menulis “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya dengan slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari slogan-slogan. Seorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indoneia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar. Disamping juga untuk menimbulkan daya tahan fisik yang kuat”. Tetapi, bukan masalah naik gunung yang ingin saya bahas kali ini. Walaupun saya juga suka naik gunung. Karena Gie sudah menjadi inspirasi dalam hidup saya.

Kehidupan Masa Kecil Hingga Remaja Soe Hok Gie

Sabtu, 10 Desember 2016

Bingung Soal Pers: Sebuah Catatan Harian



Rabu, 7 Desember 2016

“Kebenaran tidak datang dalam bentuk instruksi dari siapapun, tetapi harus dihayati”
(Soe Hok Gie)

Kemarin malam saya berdiskusi dengan beberapa teman-teman UKM. Tentang independensi dan idealisme pers. Cukup alot diskusi waktu itu, sampai kita tidak bisa menyimpulkan dan tidak bisa mengakhiri diskusi itu. Yang membuat kita bubar hanyalah peraturan tentang penutupan gerbang kampus.

Ada beberapa hal yang saya dapatkan dalam diskusi tersebut. Pertama, tentang independensi pers. Dalam hal ini, indenpendensi tidak bisa dikatakan sebagai netral atau tidak memihak golongan tertentu. Karena 9 element jurnalisme mengatakan bahwa pers itu memihak masyarakat. Indenpendensi dalam pers terjadi ketika pers melucuti semua “atribut atau pakaian” yang melekat pada dirinya. Jenis kelamin, agama, dan lain sebagainya. Yang kedua adalah fungsi pers. Ada 4 fungsi pers. Hiburan, memberikan informasi, pendidikan dan kontrol sosial.

Jika kita berbicara tentang kontrol sosial, saya jadi ingat akan sebuah kasus yang dialami oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus saya. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi. Salah satu tulisan mereka ada yang dilarang terbit oleh kampus. Mereka (pers Mahasiswa) memuat tulisan tentang pemenuhan hak-hak warga sekitar kampus baru UIN Maliki Malangdi Junrejo. Saya bisa menebak alasan pihak kampus melarang tulisan ini terbit. Yaa pastinya mereka tidak ingin aib atau kesalahan mereka diketahui khalayak ramai, khususnya para mahasiswa baru yang sudah termakan opini bahwa UIN Maliki Malang merupakan UIN terbaik seluruh Indonesia.

Menurut saya, lebih baik UIN Maliki Malang diterima secara wajar. Biarlah para Mahasiswa melihat beberapa aib, kesalahan atau kekhilafan pihak kampus. Para penjabat kampus hanyalah manusia biasa bukan Nabi Muhammad. Janganlah ada yang ditutup-tutupi. Makin banyak kesalahan atau kekhilafan yang direspon maka makin baik. Artinya, para mahasiswa akan sadar bahwa keadaan kampus tidak baik-baik saja. Biar mereka nanti akan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, untuk UIN Maliki Malang yang lebih baik.

Jika kita mengumpakan masyarakat kampus sebagai sebuah negara kecil, maka dalam negara itu terdapat beberapa media penyiaran. Contoh dalam di Indonesia ada Kompas, Jawa Post, Metro TV, TV one dan lain sebagainya. Di Negara UIN Maliki Malang sendiri, terdapat 3 lembaga pers. Gema, Suara Akademika dan UAPM Inovasi. Kalau kita lihat dari segi isi tulisan atau berita yang dimuat, Gema dan Suara Akademika selalu pro terhadap kampus. Dalam artian mereka selalu memberitakan tentang hal-hal yang baik saja. Seharusnya, disini Inovasi muncul sebagai penyeimbang. Kita tidak bisa memungkiri kalau kita hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Kembali lagi kepada fungsi pers yaitu social control. Artinya pihak kampus harus memfasilitasi Inovasi. Jika tidak, apa bedanya pihak kampus dengan rezim Soekarno dan Soeharto. Kita semua tahu bagaimana keadaan pers pada zaman itu. Pada zaman itu yang ada hanya pers yang pro terhadap pemerintah saja. Seperti keadaan indonesia sekarang lah. Ada media yang Pro terhadap pemerintah ada juga yang kontra. Semua itu terjadi guna keseimbangan dalam hal informasi. Kita bisa lihat bagaimana Napoleon Bonaparte mendirikan lembaga Oposisi untuk mengkritik seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tentunya tujuan pendirian lembaga oposisi ini untuk menciptakan keseimbangan. Sama seperti atom, yang memiliki elektron dan proton.  Atom yang merupakan bagian terkecil adalah hasil perjuangan dua kodrat tersebut. Bisa juga dikatakan kodrat menolak dan kodrat menarik. Hal ini sama dengan Tesis dan antitesis yang menghasilkan sintesis.

Pada tahun 1965, di Indonesia terjadi pelarangan membaca bukunya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tjerita dari Blora” dan bukunya Mochtar Lubis yang berjudul “Djalan Tak ada Ujung”. Dua buku tersebut merupakan manifestasi dari ketakutan. Takut akan kebebasan mimbar-mimbar kampus (Soe Hok Gie, 1968). seharusnya, sudah menjadi suatu kewajiban di dalam suatu untuk memelihara kebebasan berfikir dan berpendapat. Toh bidang seorang mahasiswa adalah berfikir dan mencipta hal baru. Dan bagi mahasiswa yang menulis tentang kesalahan atau kebobrokan kampus, harus difasilitasi oleh pihak kampus. padalah tulisan anggota Inovasi sudah melalui verifikasi. Mereka sudah memverifikasi kepada Pak Sutaman (Humas UIN). Lalu kenapa kebebasan di kampus dibatasi?

A Man is ad he thinks you can’t change it” Seorang manusia adalah seperti yang dia pikirkan, kau tak dapat mengubahnya (film ... And The Fifth Rider is Fear). Lalu siapakah kita? Kita adalah pemuda (mahasiswa). Sebagai mahasiswa kita tidak boleh mengingkari wujud kita. Wujud kita sebagai pemuda yang masih belajar dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Seorang Pers Mahasiswa yang mempunyai cita-cita luhur untuk kampus yang lebih baik. Oleh karena itu mahasiswa berani untuk berterus terang tentang keadaan kampusnya. Dan seharusnya pihak kampus pun begitu. Berani jujur jika keadaan kampusnya tidak baik-baik saja. Kebenaran tidak datang dalam bentuk instruksi dari siapapun, tetapi harus dihayati. Dalam lingkup nasional, Dewan Pers punya UU 40 tahun 1999 untuk berinteraksi dengan pemerintah. Seharusnya dikampus pun begitu. Diatur tentang kebebasan berpendapat bagi para Mahasiswanya. Karena Mahasiswa tidak hanya menyoal tentang akademik saja.

Selasa, 05 Januari 2016

Tidaklah Indah Dunia Ini, jika Hanya Ada Satu Warna

Sebenarnya tulisan ini sudah lama ingin saya publikasikan. Tetapi, karena ada beberapa pertimbagan dan juga belum ada keberanian maka tulisan ini urung saya publikasikan. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mempublikasikan tulisan ini. Tulisan ini saya anggap sebagai keresahan saya dalam beberapa waktu ini. Bukan curhat, bukan juga kritik. Tapi saya hanya ingin mengutarakan pendapat saya.
Sekitar beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan sebuah broadcast message dari grup alumni pondok pesantren tempat saya bersekolah dulu. Isinya cukup membuat saya kaget, pesan itu berisi tentang akan diadakan sebuah demo. Demo ini terjadi karena pendirian sebuah gereja yang menurut beberapa ulama disana menyalahi peraturan. Dan mereka menuntut pencabutan izin gereja tersebut. Kira-kira begitulah isi pesan yang saya dapatkan.
18 tahun saya hidup dalam lingkungan yang homogen. Homogen dalam artian semua orang di lingkungan yang saya tempati semuanya beragama Islam. Tidak ada yang beragama selain islam. Apalagi setelah lulus sekolah dasar saya melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren dibilangan Bekasi. Ketika saya memulai kehidupan sebagai mahasiswa, saya harus belajar hidup bersama. Itu berarti, semasa belajar, saya harus memposisikan diri untuk memandang dan memperlakukan sesame dengan setara. Karena dunia kampus mempertemukan saya dengan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Setiap agama tentunya membawa nilai-nilai yang berbeda. Maka dari itu, untuk tetap menjalani kehidupan dengan baik, saya harus mempunyai sikap tenggang rasa, agar perbedaan ini dapat diterima dan dihormati. Dalam satu tulisan Prof. Gunawan Tjahjono, beliau mengatakan bahwa. Sikap tenggang rasa akan tumbuh jika keberterimaan perbedaan berlangsung dalam kesetaraan dan saling menghormati.
Menurut Mohammad Munip (Direktur Eksekutif International Conference on religion and peace), berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama lainnya. Maka, muncullah pemikiran bahwa yang ada dimuka bumi ini hanyalah diri dan kelompoknya saja. Yang berbeda dianggap aneh dan menyimpang bahkan sesat. Pernyataan ini membuat saya seperti dipukul. Indonesia bukan hanya Islam saja, Protestan saja, Katolik saja, Hindu saja, Budha saja, atau bukan Konghuchu saja. Semua agama tersebut diakui oleh Negara. Lalu, apakah hanya karena kita mayoritas kita boleh bertindak seenaknya terhadap minoritas? Pertanyaan ini bukan hanya untuk umat islam saja. Tetapi, untuk semua agama yang mayoritas disuatu daerah. Bukan hanya kejadian demo pendirian gereja di bekasi tetapi juga kejadian pembakaran gereja di tolikara. Gampangnya, jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Itu teori sosiologis sederhana.
Lalu apa yang saya ingin sampaikan? Saya cuman ingin menyampaikan bahwa kita hidup di Indonesia bukan hanya terdiri atas satu agama saja. Indonesia terdiri dari berbagai macam agama. Khusus untuk kasus pendirian gereja di bekasi seperti yang saya ceritakan diatas. Coba kita telaah dari syarat pendirian rumah ibadah. Tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah. Pada pasal 13 Perber Menag dan Mendagri No. 8/9 Tahun 2006, disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan kepada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadah ini dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum, serta memenuhi peraturan perundang-undangan. Apabila keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, maka pertimbangkan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota/provinsi. Selain itu, ada syarat administratif yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan penjabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
2.      Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
3.      Rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota
4.      Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/kota.
Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati.walikota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari setelah permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia.
Jadi, jika semua syarat tersebut sudah dipenuhi maka, rumah ibadah tersebut legal untuk didirikan. Nah, yang jadi permasalahannya adalah bagaimana ketika data dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izinnya? Seperti yang terjadi di bekasi. Menurut broadcast message yang saya dapatkan, data persetujuan warga dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izin tersebut. Seharusnya, yang kita lakukan adalah bukan mempermasalahkan pendirian rumah ibadah tersebut. Tapi, buktikan bahwa tuduhan itu benar dan laporkan kepada pihak yang berwajib. karena Negara kita Negara hukum, yaaa walaupun hukumnya kadang timpang. Tapi, alangkah baiknya untuk kita mematuhi system yang telah berlaku di Negara ini. Sistem akan berjalan baik jika system yang menggerakkan manusia bukan manusia yang menggerakkan system. Itu argument saya dari segi aturan yang berlaku di Negara ini.
Pendirian rumah ibadah erat kaitannya dengan toleransi dan menghargai antar umat beragama. Adanya rasa toleransi dan menghargai antar umat beragama tanpa menggoyahkan keyakinan masing-masing bukanlah hal yang sulit untuk diterapkan di Indonesia yang notebene masyarakatnya heterogen yang secara budaya memiliki nilai untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan selama ratusan tahun. Yaa memang tidak bisa dipungkiri jikalau sekarang Indonesia diwarnai oleh berbagai peristiwa yang merusak kerukunan dan kedamaian umat beragama. Lalu apa yang merusak tatanan kedamaian dan kerukanan antar umat beragama di Indonesia?
Coba kita kembali ke masa kita sekolah dulu. Sejumlah pengamat dan akademisi pendidikan mengatakan bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak banyak mengajarkan bagaimana hidup bersama, berdampingan dengan umat beragama lain yang berbeda. Yang terjadi justru banyak doktrin untuk hanya meyakini agamanya sendiri dan dalam waktu bersamaan menilai keliru bahkan sesat ajaran agama yang dianut oleh orang lain. Akibatnya, peserta didik tumbuh menjadi manusia beragama yang ekslusif. Yang hanya menilai ajaran agamanya sendiri yang paling benar, sementara yang lain salah, sesat, dan tidak diterima oleh tuhan. Nah, hal seperti inilah yang kontrapoduktif bagi upaya mewujudkan hidup damai dan rukun dalam bingkai kemajemukan. Ketika dulu bersekolah di pondok pesantren, saya sempat menjadi seperti ini. Menilai agama lain salah bahkan sesat. Jangankan agama lain, ketika ada suatu aliran dalam Islam yang tidak sesuai dengan ajaran yang diterima di pesantren. Saya akan menganggap aliran itu sesat. Setelah saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa barulah saya mulai menganggap bahwa perbedaan itu indah. Seandainya, pendidikan agama disekolah menekankan pada prinsip humanism. Mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang mengganggu kehidupan beragama. Humanisme adalah sebuah cara pandang yang melihat manusia sebagai unsur penting yang memiliki keluhuran dan martabat. Humanism menurut pembaruan hidup dan terlebih sikap yang terus-menerus mau menjadi manusiawi dan menghargai sifat kemanusiaan. Intinya humanisme mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia.
Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Munif diatas, bahwa berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama lainnya. Yang saya garis bawahi adalah “sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri”. Greg Barton mengatakan bahwa dalam membaca Islam kita harus mampu melihat arus-arus yang berada dalam tradisi Islam, baik yang progesif maupun yang radikal. Islam progesif merupakan salah satu pandangan keislaman yang moderat, karena mampu memahami nilai-nilai kemodernan, seperti demokratis, HAM, dan pluralism secara baik. Berfikir moderat, bertinda terbuka, toleran, menghormati dan menghargai keyakinan orang lain itulah yang harus kita miliki demi terciptanya kerukunan dan kedamaian umat beragama. Untuk bersikap seperti diatas, pendekatan dan persepektif yang digunakan adalah Pluralisme dan Perenialisme. Pluralisma akan mengantarkan kita agar bersikap postif terhadap menghadapi fakta kebinekaan dan perbedaan. Sedangkan perenialisme akan memberikan kita pemahaman dan keinsyafan akan adanya titik temu ajaran, esensi-esensi agama, kearifan dan spritualisme agama.
Nurcholish Madjid pernah menulis di Republika pada 10 Agustus 1999. Beliau mengatakan demikian :

Puralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralism. Pluralisme juga tdak boleh dipahami sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya menyingkirkan fanatisme (to keep fanatism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kita suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada manusia.
“seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Alquran, Surah Al-Baqarah/2:251).

yang mau saya singgung adalah ayat Alquran yang dikutip oleh Cak Nur tersebut. Allah saja mengimbangi satu golongan dengan golongan yang lainnya. Artinya Allah menciptakan manusia tidak hanya terdiri atas satu golongan saja. Tidak hanya terdiri dari satu agama saja. Kenyataannya agama samawi yang turun ke Bumi ada 3, Yahudi, Nasrani dan terakhir Islam. Ayat diatas juga linier dengan Surah Al-hujarat ayat 13 yang artinya “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal .......”. Allah menciptakan manusia yang terdiri atas berbagai macam golongan bukan untuk kita saling menindas, saling menjatuhkan dan saling menyakiti satu sama lain, melainkan untuk kita saling mengenal satu sama lain. Lebih lanjut Muhammed Arkoun Mengatakan “Bukan untuk memberikan sumbangan terselenggaranya suatu perjumpaan (encounter) yang akan membuat kita berfikir cara pandang “saya dan kita versus kamu dan mereka”, melainkan bagi terciptanya suatu ruang baru bagi kesalingpahaman dan kebebasan”. Perkataan ini bisa dijadikan untuk memberikan pemahaman bahwa keberagaman yang Allah ciptakan adalan untuk kita saling paham satu sama lain bukan untuk saling membuktikan eksistensi golongan sendiri.
Hilangnya kedamaian antar umat beragama yang ada di Indonesia sebenarnya sudah diperingtkan oleh Allah SWT. Allah berfirman yang artinya: Jangan berdebat dengan para pengikut wahyu terdahulu, kecuali secara lemah lembut --- jika tidak demikian mereka akan cenderung berbuat jahat--- dan katakanlah: “ kami beriman kepada apa yang telah diberikan kepada kami, serta apa yang telah diberikan kepadamu, karena tuhan kami dan tuhan kamu adalah satu dan sama, dan kepadanya kita menyerahkan diri”. (QS 29: 46). Seperti yang saya katakana diatas bahwa agama samawi ada 3, Yahudi, Nasrani dan yang terakhir Islam. Kristen sekarang itu merupakan representative dari Nasrani walaupun banyak yang mengatakan bahwa injil digunakan telah mengalami banyak perubahan. Jika kita tarik ke ayat diatas, kita dilarang untuk berdebat dengan mereka (para pengikut wahyu terdahulu) menggunakan cara yang kasar. Ketika itu terjadi, mereka akan membalas kita dengan perbuatan yang jahat. Allah sudah memperingatkan kita akan hal tersebut, tetapi kenapa kita masih melakukan itu? Toh dalam surat Al-Kafirun ayat 6 Allah juga berfirman, yang artinya : bagimu agamamu, bagiku agamaku. Itu kan sudah jelas bahwa bagi mereka yaa agama mereka. Bagi kita yaaa agama kita. Janganlah menggangu keharmonisan masyarakat dengan perang antar agama.
Kembali ke teori sosiologis tadi. Jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Artinya jika kita ingin damai, maka berilah rasa damai kepada orang sekitar kita. Pepatah arab dalam Mahfuzhot juga mengatakan “Man Zholama, Zhulima” Barangsiapa yang menzolimi maka akan dizalimi. Hukum sebab akibat terjadi disini. Lantas,apakah kita masih memaksakan bahwa agama yang kita anut benar? Kita berdakwah atau hanya memaksakan eksistensi keberadaan agama kita? Ketika kita menjadi kaum minoritas apakah kita masih bisa berbuat sebebas ini? Coba kita fikirkan baik-baik akibat yang akan ditimbulkan oleh tindakan kita yang sekarang.


Wallahu a’lam Bish Showab