Sebenarnya
tulisan ini sudah lama ingin saya publikasikan. Tetapi, karena ada beberapa
pertimbagan dan juga belum ada keberanian maka tulisan ini urung saya
publikasikan. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mempublikasikan tulisan
ini. Tulisan ini saya anggap sebagai keresahan saya dalam beberapa waktu ini.
Bukan curhat, bukan juga kritik. Tapi saya hanya ingin mengutarakan pendapat
saya.
Sekitar
beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan sebuah broadcast message dari grup
alumni pondok pesantren tempat saya bersekolah dulu. Isinya cukup membuat saya
kaget, pesan itu berisi tentang akan diadakan sebuah demo. Demo ini terjadi
karena pendirian sebuah gereja yang menurut beberapa ulama disana menyalahi
peraturan. Dan mereka menuntut pencabutan izin gereja tersebut. Kira-kira
begitulah isi pesan yang saya dapatkan.
18
tahun saya hidup dalam lingkungan yang homogen. Homogen dalam artian semua
orang di lingkungan yang saya tempati semuanya beragama Islam. Tidak ada yang
beragama selain islam. Apalagi setelah lulus sekolah dasar saya melanjutkan
pendidikan di sebuah pondok pesantren dibilangan Bekasi. Ketika saya memulai
kehidupan sebagai mahasiswa, saya harus belajar hidup bersama. Itu berarti,
semasa belajar, saya harus memposisikan diri untuk memandang dan memperlakukan
sesame dengan setara. Karena dunia kampus mempertemukan saya dengan orang-orang
yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Setiap agama tentunya membawa
nilai-nilai yang berbeda. Maka dari itu, untuk tetap menjalani kehidupan dengan
baik, saya harus mempunyai sikap tenggang rasa, agar perbedaan ini dapat
diterima dan dihormati. Dalam satu tulisan Prof. Gunawan Tjahjono, beliau
mengatakan bahwa. Sikap tenggang rasa akan tumbuh jika keberterimaan perbedaan
berlangsung dalam kesetaraan dan saling menghormati.
Menurut
Mohammad Munip (Direktur Eksekutif International Conference on religion and
peace), berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi,
radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan
seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu
terhadap agama atau penganut agama lainnya. Maka, muncullah pemikiran bahwa
yang ada dimuka bumi ini hanyalah diri dan kelompoknya saja. Yang berbeda
dianggap aneh dan menyimpang bahkan sesat. Pernyataan ini membuat saya seperti
dipukul. Indonesia bukan hanya Islam saja, Protestan saja, Katolik saja, Hindu
saja, Budha saja, atau bukan Konghuchu saja. Semua agama tersebut diakui oleh Negara.
Lalu, apakah hanya karena kita mayoritas kita boleh bertindak seenaknya
terhadap minoritas? Pertanyaan ini bukan hanya untuk umat islam saja. Tetapi,
untuk semua agama yang mayoritas disuatu daerah. Bukan hanya kejadian demo
pendirian gereja di bekasi tetapi juga kejadian pembakaran gereja di tolikara.
Gampangnya, jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita
juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Itu teori sosiologis
sederhana.
Lalu
apa yang saya ingin sampaikan? Saya cuman ingin menyampaikan bahwa kita hidup
di Indonesia bukan hanya terdiri atas satu agama saja. Indonesia terdiri dari
berbagai macam agama. Khusus untuk kasus pendirian gereja di bekasi seperti
yang saya ceritakan diatas. Coba kita telaah dari syarat pendirian rumah
ibadah. Tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam peraturan bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 tentang pedoman
pelaksanaan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan
Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah. Pada pasal 13 Perber Menag
dan Mendagri No. 8/9 Tahun 2006, disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah
didasarkan kepada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah
penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah
kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadah ini dilakukan dengan tetap menjaga
kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum, serta
memenuhi peraturan perundang-undangan. Apabila keperluan nyata bagi pelayanan
umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, maka pertimbangkan
komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau
kabupaten/kota/provinsi. Selain itu, ada syarat administratif yang harus
dipenuhi, antara lain :
1.
Daftar
nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang
yang disahkan penjabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
2.
Dukungan
masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala
desa.
3.
Rekomendasi
tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota
4.
Rekomendasi
tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/kota.
Permohonan pendirian diajukan
oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati.walikota untuk memperoleh
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan
keputusan paling lambat 90 hari setelah permohonan pendirian rumah ibadah
diajukan oleh panitia.
Jadi,
jika semua syarat tersebut sudah dipenuhi maka, rumah ibadah tersebut legal
untuk didirikan. Nah, yang jadi permasalahannya adalah bagaimana ketika data
dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok
untuk memuluskan izinnya? Seperti yang terjadi di bekasi. Menurut broadcast
message yang saya dapatkan, data persetujuan warga dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izin
tersebut. Seharusnya, yang kita lakukan adalah bukan mempermasalahkan pendirian
rumah ibadah tersebut. Tapi, buktikan bahwa tuduhan itu benar dan laporkan
kepada pihak yang berwajib. karena Negara kita Negara hukum, yaaa walaupun hukumnya
kadang timpang. Tapi, alangkah baiknya untuk kita mematuhi system yang telah
berlaku di Negara ini. Sistem akan berjalan baik jika system yang menggerakkan
manusia bukan manusia yang menggerakkan system. Itu argument saya dari segi
aturan yang berlaku di Negara ini.
Pendirian
rumah ibadah erat kaitannya dengan toleransi dan menghargai antar umat
beragama. Adanya rasa toleransi dan menghargai antar umat beragama tanpa
menggoyahkan keyakinan masing-masing bukanlah hal yang sulit untuk diterapkan
di Indonesia yang notebene masyarakatnya heterogen yang secara budaya memiliki
nilai untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan selama ratusan tahun. Yaa
memang tidak bisa dipungkiri jikalau sekarang Indonesia diwarnai oleh berbagai
peristiwa yang merusak kerukunan dan kedamaian umat beragama. Lalu apa yang
merusak tatanan kedamaian dan kerukanan antar umat beragama di Indonesia?
Coba
kita kembali ke masa kita sekolah dulu. Sejumlah pengamat dan akademisi
pendidikan mengatakan bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak banyak
mengajarkan bagaimana hidup bersama, berdampingan dengan umat beragama lain
yang berbeda. Yang terjadi justru banyak doktrin untuk hanya meyakini agamanya
sendiri dan dalam waktu bersamaan menilai keliru bahkan sesat ajaran agama yang
dianut oleh orang lain. Akibatnya, peserta didik tumbuh menjadi manusia
beragama yang ekslusif. Yang hanya menilai ajaran agamanya sendiri yang paling
benar, sementara yang lain salah, sesat, dan tidak diterima oleh tuhan. Nah,
hal seperti inilah yang kontrapoduktif bagi upaya mewujudkan hidup damai dan
rukun dalam bingkai kemajemukan. Ketika dulu bersekolah di pondok pesantren,
saya sempat menjadi seperti ini. Menilai agama lain salah bahkan sesat.
Jangankan agama lain, ketika ada suatu aliran dalam Islam yang tidak sesuai
dengan ajaran yang diterima di pesantren. Saya akan menganggap aliran itu
sesat. Setelah saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa barulah saya mulai
menganggap bahwa perbedaan itu indah. Seandainya, pendidikan agama disekolah
menekankan pada prinsip humanism. Mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang
mengganggu kehidupan beragama. Humanisme adalah sebuah cara pandang yang
melihat manusia sebagai unsur penting yang memiliki keluhuran dan martabat.
Humanism menurut pembaruan hidup dan terlebih sikap yang terus-menerus mau
menjadi manusiawi dan menghargai sifat kemanusiaan. Intinya humanisme
mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia.
Seperti
yang dikatakan oleh Muhammad Munif diatas, bahwa berbagai persoalan
bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme
disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya
sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama
lainnya. Yang saya garis bawahi adalah “sempitnya pemahaman keagamaan seseorang
terhadap agamanya sendiri”. Greg Barton mengatakan bahwa dalam membaca Islam
kita harus mampu melihat arus-arus yang berada dalam tradisi Islam, baik yang
progesif maupun yang radikal. Islam progesif merupakan salah satu pandangan
keislaman yang moderat, karena mampu memahami nilai-nilai kemodernan, seperti
demokratis, HAM, dan pluralism secara baik. Berfikir moderat, bertinda terbuka,
toleran, menghormati dan menghargai keyakinan orang lain itulah yang harus kita
miliki demi terciptanya kerukunan dan kedamaian umat beragama. Untuk bersikap
seperti diatas, pendekatan dan persepektif yang digunakan adalah Pluralisme dan
Perenialisme. Pluralisma akan mengantarkan kita agar bersikap postif terhadap
menghadapi fakta kebinekaan dan perbedaan. Sedangkan perenialisme akan
memberikan kita pemahaman dan keinsyafan akan adanya titik temu ajaran,
esensi-esensi agama, kearifan dan spritualisme agama.
Nurcholish
Madjid pernah menulis di Republika pada 10 Agustus 1999. Beliau mengatakan demikian
:
Puralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama,
yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralism. Pluralisme juga
tdak boleh dipahami sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik
dari kegunaannya menyingkirkan fanatisme (to keep fanatism at bay). Pluralisme
harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan
keadaban”. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat
manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang
dihasilkannya. Dalam kita suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan
mekanisme pengawasan dan pengimbangan dan pengimbangan antara sesama manusia
guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan
yang melimpah kepada manusia.
“seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan
segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai
kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Alquran, Surah
Al-Baqarah/2:251).
yang
mau saya singgung adalah ayat Alquran yang dikutip oleh Cak Nur tersebut. Allah
saja mengimbangi satu golongan dengan golongan yang lainnya. Artinya Allah
menciptakan manusia tidak hanya terdiri atas satu golongan saja. Tidak hanya
terdiri dari satu agama saja. Kenyataannya agama samawi yang turun ke Bumi ada
3, Yahudi, Nasrani dan terakhir Islam. Ayat diatas juga linier dengan Surah
Al-hujarat ayat 13 yang artinya “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal .......”. Allah menciptakan
manusia yang terdiri atas berbagai macam golongan bukan untuk kita saling
menindas, saling menjatuhkan dan saling menyakiti satu sama lain, melainkan
untuk kita saling mengenal satu sama lain. Lebih lanjut Muhammed Arkoun
Mengatakan “Bukan untuk memberikan sumbangan terselenggaranya suatu perjumpaan
(encounter) yang akan membuat kita
berfikir cara pandang “saya dan kita versus kamu dan mereka”, melainkan bagi
terciptanya suatu ruang baru bagi kesalingpahaman dan kebebasan”. Perkataan ini
bisa dijadikan untuk memberikan pemahaman bahwa keberagaman yang Allah ciptakan
adalan untuk kita saling paham satu sama lain bukan untuk saling membuktikan
eksistensi golongan sendiri.
Hilangnya
kedamaian antar umat beragama yang ada di Indonesia sebenarnya sudah
diperingtkan oleh Allah SWT. Allah berfirman yang artinya: Jangan berdebat
dengan para pengikut wahyu terdahulu, kecuali secara lemah lembut --- jika
tidak demikian mereka akan cenderung berbuat jahat--- dan katakanlah: “ kami
beriman kepada apa yang telah diberikan kepada kami, serta apa yang telah
diberikan kepadamu, karena tuhan kami dan tuhan kamu adalah satu dan sama, dan
kepadanya kita menyerahkan diri”. (QS 29: 46). Seperti yang saya katakana
diatas bahwa agama samawi ada 3, Yahudi, Nasrani dan yang terakhir Islam.
Kristen sekarang itu merupakan representative dari Nasrani walaupun banyak yang
mengatakan bahwa injil digunakan telah mengalami banyak perubahan. Jika kita
tarik ke ayat diatas, kita dilarang untuk berdebat dengan mereka (para pengikut
wahyu terdahulu) menggunakan cara yang kasar. Ketika itu terjadi, mereka akan
membalas kita dengan perbuatan yang jahat. Allah sudah memperingatkan kita akan
hal tersebut, tetapi kenapa kita masih melakukan itu? Toh dalam surat
Al-Kafirun ayat 6 Allah juga berfirman, yang artinya : bagimu agamamu, bagiku
agamaku. Itu kan sudah jelas bahwa bagi mereka yaa agama mereka. Bagi kita yaaa
agama kita. Janganlah menggangu keharmonisan masyarakat dengan perang antar
agama.
Kembali
ke teori sosiologis tadi. Jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan
dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain.
Artinya jika kita ingin damai, maka berilah rasa damai kepada orang sekitar
kita. Pepatah arab dalam Mahfuzhot juga mengatakan “Man Zholama, Zhulima”
Barangsiapa yang menzolimi maka akan dizalimi. Hukum sebab akibat terjadi
disini. Lantas,apakah kita masih memaksakan bahwa agama yang kita anut benar?
Kita berdakwah atau hanya memaksakan eksistensi keberadaan agama kita? Ketika
kita menjadi kaum minoritas apakah kita masih bisa berbuat sebebas ini? Coba
kita fikirkan baik-baik akibat yang akan ditimbulkan oleh tindakan kita yang
sekarang.