Selasa, 05 Januari 2016

Tidaklah Indah Dunia Ini, jika Hanya Ada Satu Warna

Sebenarnya tulisan ini sudah lama ingin saya publikasikan. Tetapi, karena ada beberapa pertimbagan dan juga belum ada keberanian maka tulisan ini urung saya publikasikan. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk mempublikasikan tulisan ini. Tulisan ini saya anggap sebagai keresahan saya dalam beberapa waktu ini. Bukan curhat, bukan juga kritik. Tapi saya hanya ingin mengutarakan pendapat saya.
Sekitar beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan sebuah broadcast message dari grup alumni pondok pesantren tempat saya bersekolah dulu. Isinya cukup membuat saya kaget, pesan itu berisi tentang akan diadakan sebuah demo. Demo ini terjadi karena pendirian sebuah gereja yang menurut beberapa ulama disana menyalahi peraturan. Dan mereka menuntut pencabutan izin gereja tersebut. Kira-kira begitulah isi pesan yang saya dapatkan.
18 tahun saya hidup dalam lingkungan yang homogen. Homogen dalam artian semua orang di lingkungan yang saya tempati semuanya beragama Islam. Tidak ada yang beragama selain islam. Apalagi setelah lulus sekolah dasar saya melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren dibilangan Bekasi. Ketika saya memulai kehidupan sebagai mahasiswa, saya harus belajar hidup bersama. Itu berarti, semasa belajar, saya harus memposisikan diri untuk memandang dan memperlakukan sesame dengan setara. Karena dunia kampus mempertemukan saya dengan orang-orang yang berasal dari berbagai latar belakang agama. Setiap agama tentunya membawa nilai-nilai yang berbeda. Maka dari itu, untuk tetap menjalani kehidupan dengan baik, saya harus mempunyai sikap tenggang rasa, agar perbedaan ini dapat diterima dan dihormati. Dalam satu tulisan Prof. Gunawan Tjahjono, beliau mengatakan bahwa. Sikap tenggang rasa akan tumbuh jika keberterimaan perbedaan berlangsung dalam kesetaraan dan saling menghormati.
Menurut Mohammad Munip (Direktur Eksekutif International Conference on religion and peace), berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama lainnya. Maka, muncullah pemikiran bahwa yang ada dimuka bumi ini hanyalah diri dan kelompoknya saja. Yang berbeda dianggap aneh dan menyimpang bahkan sesat. Pernyataan ini membuat saya seperti dipukul. Indonesia bukan hanya Islam saja, Protestan saja, Katolik saja, Hindu saja, Budha saja, atau bukan Konghuchu saja. Semua agama tersebut diakui oleh Negara. Lalu, apakah hanya karena kita mayoritas kita boleh bertindak seenaknya terhadap minoritas? Pertanyaan ini bukan hanya untuk umat islam saja. Tetapi, untuk semua agama yang mayoritas disuatu daerah. Bukan hanya kejadian demo pendirian gereja di bekasi tetapi juga kejadian pembakaran gereja di tolikara. Gampangnya, jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Itu teori sosiologis sederhana.
Lalu apa yang saya ingin sampaikan? Saya cuman ingin menyampaikan bahwa kita hidup di Indonesia bukan hanya terdiri atas satu agama saja. Indonesia terdiri dari berbagai macam agama. Khusus untuk kasus pendirian gereja di bekasi seperti yang saya ceritakan diatas. Coba kita telaah dari syarat pendirian rumah ibadah. Tata cara pendirian rumah ibadah diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadah. Pada pasal 13 Perber Menag dan Mendagri No. 8/9 Tahun 2006, disebutkan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan kepada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadah ini dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum, serta memenuhi peraturan perundang-undangan. Apabila keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, maka pertimbangkan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota/provinsi. Selain itu, ada syarat administratif yang harus dipenuhi, antara lain :
1.      Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan penjabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
2.      Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.
3.      Rekomendasi tertulis dari kantor departemen agama kabupaten/kota
4.      Rekomendasi tertulis dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten/kota.
Permohonan pendirian diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadah kepada bupati.walikota untuk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadah. Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90 hari setelah permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia.
Jadi, jika semua syarat tersebut sudah dipenuhi maka, rumah ibadah tersebut legal untuk didirikan. Nah, yang jadi permasalahannya adalah bagaimana ketika data dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izinnya? Seperti yang terjadi di bekasi. Menurut broadcast message yang saya dapatkan, data persetujuan warga dipalsukan dan ada praktek sogok-menyogok untuk memuluskan izin tersebut. Seharusnya, yang kita lakukan adalah bukan mempermasalahkan pendirian rumah ibadah tersebut. Tapi, buktikan bahwa tuduhan itu benar dan laporkan kepada pihak yang berwajib. karena Negara kita Negara hukum, yaaa walaupun hukumnya kadang timpang. Tapi, alangkah baiknya untuk kita mematuhi system yang telah berlaku di Negara ini. Sistem akan berjalan baik jika system yang menggerakkan manusia bukan manusia yang menggerakkan system. Itu argument saya dari segi aturan yang berlaku di Negara ini.
Pendirian rumah ibadah erat kaitannya dengan toleransi dan menghargai antar umat beragama. Adanya rasa toleransi dan menghargai antar umat beragama tanpa menggoyahkan keyakinan masing-masing bukanlah hal yang sulit untuk diterapkan di Indonesia yang notebene masyarakatnya heterogen yang secara budaya memiliki nilai untuk hidup rukun dan damai dalam perbedaan selama ratusan tahun. Yaa memang tidak bisa dipungkiri jikalau sekarang Indonesia diwarnai oleh berbagai peristiwa yang merusak kerukunan dan kedamaian umat beragama. Lalu apa yang merusak tatanan kedamaian dan kerukanan antar umat beragama di Indonesia?
Coba kita kembali ke masa kita sekolah dulu. Sejumlah pengamat dan akademisi pendidikan mengatakan bahwa pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak banyak mengajarkan bagaimana hidup bersama, berdampingan dengan umat beragama lain yang berbeda. Yang terjadi justru banyak doktrin untuk hanya meyakini agamanya sendiri dan dalam waktu bersamaan menilai keliru bahkan sesat ajaran agama yang dianut oleh orang lain. Akibatnya, peserta didik tumbuh menjadi manusia beragama yang ekslusif. Yang hanya menilai ajaran agamanya sendiri yang paling benar, sementara yang lain salah, sesat, dan tidak diterima oleh tuhan. Nah, hal seperti inilah yang kontrapoduktif bagi upaya mewujudkan hidup damai dan rukun dalam bingkai kemajemukan. Ketika dulu bersekolah di pondok pesantren, saya sempat menjadi seperti ini. Menilai agama lain salah bahkan sesat. Jangankan agama lain, ketika ada suatu aliran dalam Islam yang tidak sesuai dengan ajaran yang diterima di pesantren. Saya akan menganggap aliran itu sesat. Setelah saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa barulah saya mulai menganggap bahwa perbedaan itu indah. Seandainya, pendidikan agama disekolah menekankan pada prinsip humanism. Mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang mengganggu kehidupan beragama. Humanisme adalah sebuah cara pandang yang melihat manusia sebagai unsur penting yang memiliki keluhuran dan martabat. Humanism menurut pembaruan hidup dan terlebih sikap yang terus-menerus mau menjadi manusiawi dan menghargai sifat kemanusiaan. Intinya humanisme mengajarkan penghormatan terhadap martabat manusia.
Seperti yang dikatakan oleh Muhammad Munif diatas, bahwa berbagai persoalan bernuansakan agama, mulai dari intoleransi, radikalisme, bahkan ekstremisme disebabkan oleh sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri, selain ketidaktahuan seseorang itu terhadap agama atau penganut agama lainnya. Yang saya garis bawahi adalah “sempitnya pemahaman keagamaan seseorang terhadap agamanya sendiri”. Greg Barton mengatakan bahwa dalam membaca Islam kita harus mampu melihat arus-arus yang berada dalam tradisi Islam, baik yang progesif maupun yang radikal. Islam progesif merupakan salah satu pandangan keislaman yang moderat, karena mampu memahami nilai-nilai kemodernan, seperti demokratis, HAM, dan pluralism secara baik. Berfikir moderat, bertinda terbuka, toleran, menghormati dan menghargai keyakinan orang lain itulah yang harus kita miliki demi terciptanya kerukunan dan kedamaian umat beragama. Untuk bersikap seperti diatas, pendekatan dan persepektif yang digunakan adalah Pluralisme dan Perenialisme. Pluralisma akan mengantarkan kita agar bersikap postif terhadap menghadapi fakta kebinekaan dan perbedaan. Sedangkan perenialisme akan memberikan kita pemahaman dan keinsyafan akan adanya titik temu ajaran, esensi-esensi agama, kearifan dan spritualisme agama.
Nurcholish Madjid pernah menulis di Republika pada 10 Agustus 1999. Beliau mengatakan demikian :

Puralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralism. Pluralisme juga tdak boleh dipahami sebagai “kebaikan negative” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya menyingkirkan fanatisme (to keep fanatism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kita suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan tuhan yang melimpah kepada manusia.
“seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Alquran, Surah Al-Baqarah/2:251).

yang mau saya singgung adalah ayat Alquran yang dikutip oleh Cak Nur tersebut. Allah saja mengimbangi satu golongan dengan golongan yang lainnya. Artinya Allah menciptakan manusia tidak hanya terdiri atas satu golongan saja. Tidak hanya terdiri dari satu agama saja. Kenyataannya agama samawi yang turun ke Bumi ada 3, Yahudi, Nasrani dan terakhir Islam. Ayat diatas juga linier dengan Surah Al-hujarat ayat 13 yang artinya “Hai Manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal .......”. Allah menciptakan manusia yang terdiri atas berbagai macam golongan bukan untuk kita saling menindas, saling menjatuhkan dan saling menyakiti satu sama lain, melainkan untuk kita saling mengenal satu sama lain. Lebih lanjut Muhammed Arkoun Mengatakan “Bukan untuk memberikan sumbangan terselenggaranya suatu perjumpaan (encounter) yang akan membuat kita berfikir cara pandang “saya dan kita versus kamu dan mereka”, melainkan bagi terciptanya suatu ruang baru bagi kesalingpahaman dan kebebasan”. Perkataan ini bisa dijadikan untuk memberikan pemahaman bahwa keberagaman yang Allah ciptakan adalan untuk kita saling paham satu sama lain bukan untuk saling membuktikan eksistensi golongan sendiri.
Hilangnya kedamaian antar umat beragama yang ada di Indonesia sebenarnya sudah diperingtkan oleh Allah SWT. Allah berfirman yang artinya: Jangan berdebat dengan para pengikut wahyu terdahulu, kecuali secara lemah lembut --- jika tidak demikian mereka akan cenderung berbuat jahat--- dan katakanlah: “ kami beriman kepada apa yang telah diberikan kepada kami, serta apa yang telah diberikan kepadamu, karena tuhan kami dan tuhan kamu adalah satu dan sama, dan kepadanya kita menyerahkan diri”. (QS 29: 46). Seperti yang saya katakana diatas bahwa agama samawi ada 3, Yahudi, Nasrani dan yang terakhir Islam. Kristen sekarang itu merupakan representative dari Nasrani walaupun banyak yang mengatakan bahwa injil digunakan telah mengalami banyak perubahan. Jika kita tarik ke ayat diatas, kita dilarang untuk berdebat dengan mereka (para pengikut wahyu terdahulu) menggunakan cara yang kasar. Ketika itu terjadi, mereka akan membalas kita dengan perbuatan yang jahat. Allah sudah memperingatkan kita akan hal tersebut, tetapi kenapa kita masih melakukan itu? Toh dalam surat Al-Kafirun ayat 6 Allah juga berfirman, yang artinya : bagimu agamamu, bagiku agamaku. Itu kan sudah jelas bahwa bagi mereka yaa agama mereka. Bagi kita yaaa agama kita. Janganlah menggangu keharmonisan masyarakat dengan perang antar agama.
Kembali ke teori sosiologis tadi. Jika kita ingin tenang, nyaman, dihormati, dan dicintai, tentu kita juga harus memberikan kesan tersebut terhadap orang lain. Artinya jika kita ingin damai, maka berilah rasa damai kepada orang sekitar kita. Pepatah arab dalam Mahfuzhot juga mengatakan “Man Zholama, Zhulima” Barangsiapa yang menzolimi maka akan dizalimi. Hukum sebab akibat terjadi disini. Lantas,apakah kita masih memaksakan bahwa agama yang kita anut benar? Kita berdakwah atau hanya memaksakan eksistensi keberadaan agama kita? Ketika kita menjadi kaum minoritas apakah kita masih bisa berbuat sebebas ini? Coba kita fikirkan baik-baik akibat yang akan ditimbulkan oleh tindakan kita yang sekarang.


Wallahu a’lam Bish Showab