Kamis, 26 Maret 2020

Akal dan Agama

Jum`at, 27 Maret 2020


Beberapa hari yang lalu, saya ditelpon oleh orang tua. Mereka menanyakan kabar tentang bagaimana kondisi malang ditengah wabah Covid-19. Yaa saya jelaskan apa yang terjadi. Akhirnya dipenghujung obrolan, seperti biasa Ibu mengingatkan saya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, terutama lebih sering untuk mengaji (hehehe). Yaa sudahlah saya lakukan itu. Saya mulai ngaji, walaupun tidak ngaji Al-Qur`an. Tetapi saya mengikuti “Ngaji Filsafat” yang diselenggarakan oleh Masjid Jendral Soedirman Yogyakarta melalui Youtube (Ngaji Filsafat ini juga ada di Spotify). Dan akhirnya, saya memilih tema tentang Neo-Atheisme. Tapi kali ini bukan tentang Neo-Atheisme yang akan saya bahas, melainkan tentang point terpenting dari Atheisme yaitu Akal. Yaa kita semua tahulah bahwa para penganut atheism ini sangat menjunjung tinggi akal. Akal juga yang membuat mereka tidak percaya akan adanya Tuhan.

Agama sangat erat kaitannya dengan Iman. Tidak mungkin manusia yang beragama tidak beriman. Iman inilah yang dijadikan salah satu dasar untuk menolak agama. Karena menurut kaum Atheis, Iman selalu kontradiktif dengan akal atau bahasa gampangnya, Iman selalu bertentangan dengan akal. Akal selalu tunduk kepada Iman. Apakah akan selalu begitu?

Agama Meracuni Pikiran

Menurut kaum Atheis, agama membuat kita menomorduakan akal atau logika. Kita juga bisa melihat bagaimana Iman membuat kita tidak bisa melihat dunia ini dengan akal sehat. Sebagai contoh adalah masih ada masyarakat Indonesia yang mengategorikan bencana alam sebagai azab tuhan. Ketika kita menganggap bencana alam adalah azab dari tuhan, maka secara tidak langsung kita merespon untuk tidak melakukan tindakan pencegahan lebih dini terhadap bencana alam. Karena kita tidak akan tahu kapan azab Tuhan akan turun. Akhirnya, korban pun tidak bisa diminimalisir. Tetapi, hal lain akan terjadi jika kita merespon bencana alam tersebut dengan menggunakan akal dan logika kita. Dengan menggunakan Logika, kita akan mencari sebab kenapa terjadinya bencana alam tersebut dan akhirnya akan meminimalisir dampak dari bencana alam tersebut. Kebanyakan masyarakat yang beragama Indonesia sekarang tidak maksimal dalam menggunakan akalnya dan menghasilkan kepatuhan atau keimanan yang buta kepada agamanya. Seperti yang ditulis oleh Charles Kimball dalam bukunya yang berjudul “When Religion Becomes Evil”, salah satu factor yang membuat agama menjadi bencana adalah kepatuhan buta.


Ketidakmaksimalan individu beragama dalam menggunakan akal dan logikanya juga disebabkan oleh lingkungan masyarakat beragama disekitar mereka. Saya pribadi sering mengalami ini. Ketika dulu saya bersekolah di Pondok Pesantren, sering sekali terdengar kata “Agama itu tidak bisa dilogikakan”. Doktrin ini yang membuat saya sempat mengalami kepatuhan buta dan tidak bisa bersikap kritis terhadap apa yang disampaikan guru-guru saya. Pokoknya apapun yang disampaikan oleh guru saya merupakan kebenaran yang mutlak karena didasarkan kepada agama. Hasilnya adalah, dahulu saya sangat benci kepada pemeluk agama lain selain Islam dan timbul rasa untuk memusuhi pemeluk agama lain. Jika ini racun ini masih berkembang biak, maka manusia akan hidup damai hanya menjadi angan-angan saja. Jika memang agama tidak bisa logikakan, maka akan muncul pertanyaan “Apakah Tuhan takut terhadap akal yang notabene ciptaan-Nya sendiri?”

Akal Mendasari Agama untuk Berkembang

Eropa pernah mengalami suatu masa yang disebut dengan “Dark Ages”. Masa ini merupakan masa kelam bagi bangsa Eropa. Mulainya masa ini ditandai dengan perkembangan pesat pada ranah agama dan kejatuhan sains. Pada masa itu agama mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan sains yang sudah berkembang dianggap sebagai sihir yang membuat manusia berpaling dari Tuhan. Hal ini diikuti dengan kekuasaan absolute oleh gereja. Gereja mulai mengawasi pemikiran masyarakat dan sampai menyentuh kepada ranah politik atau pemerintahan. Apapun yang difatwakan oleh gereja adalah benar, apabila ada yang berbeda dengan gereja maka akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kita bisa lihat apa yang terjadi pada Nicholas Coppernicus dan Galileo. Hal berbeda terjadi kepada Islam. Islam pernah mengalami masa keemasan pada masa Dinasti Abbasyiah. Pada masa ini, pemerintahan Islam sangat mendukung perkembangan Ilmu Pengetahuan yang ditandai dengan didirikannya sebuah lembaga yang diberi nama “Baitul Hikmah”. Lembaga ini bergerak dibidang pendidikan, penerjemahan, penelitan dan juga perguruan tinggi. Banyak ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari pendirian Baitul Hikmah ini. Kedokteran yang digawangi oleh Ibnu Sina, Matematika dengan tokoh Al-Khawarizmi dan Umar Khayam, Hadits oleh Imam Bukhori, Fiqh, tafsir dan lain sebagainya. Ilmu Pengetahuan merupakan sebuah indicator untuk mengatakan bahwa peradaban itu maju atau tidak. Islam dikatakan dalam masa keemasan ketika Ilmu pengetahuan berkembang dan sebaliknya, eropa dikatakan dalam masa kegelapan ketika Sains dianggap sebagai shir yang menjadikan manusia jauh dari Tuhan.

Tentunya, perkembangan ilmu pengetahuan tidak lepas dari yang namanya akal dan logika. Jika tidak ada akal dan logika, maka kita tidak bisa berfikir dan akhirnya tidak aka nada ilmu pengetahuan. Otak bukan satu-satunya factor membuat kita bisa berikir. Hewan mempunyai otak, tapi apakah mereka bisa berfikir? Karena seyogyanya tugas otak adalah mengontrol tubuh manusia. Kembali lagi kepada akal dan ilmu pengetahuan. Kita bisa lihat bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan agama pada masa dinasti Abbasyiah. Jika tanpa akal dan logika kita tidak bisa menikmati fiqh, tafsir dan hadits seperti sekarang. Salah satu hal yang penting dalam kehidupan agama Islam adalah Fiqh. Fiqh tidak tercipta dengan sendirinya. Fiqh merupakan buah pikiran ulama-ulama terdahulu. Belum lagi tafsir yang menjelaskan kandungan dalam Al-Qur`an. Salah satu disiplin ilmu yang harus dimiliki oleh orang untuk bisa menafsirkan Al-Qur`an adalah Ilmu Mantiq atau yang dikenal dengan Logika Berfikir. Semua kenikmatan Ilmu Agama yang kita nikmati sekarang adalah buah dari pemikiran-pemikiran para ilmuan Islam terdahulu. Dan sekali lagi pikiran membutuhkan akal. Lalu apakah kita masih harus menolak akal dalam beragama?

Akal Membawa Kita kepada Kiamat

Dalam agama Islam, sumber dari ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadits. Banyak fenomena yang ada didunia ini belum bisa dijelaskan oleh akal dan logika manusia. Ketika ada satu fenomena yang belum bisa dijelaskan, akan didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Dari sini saya mulai bertanya-tanya kepada diri sendiri. “Jika semua fenomena di dunia ini sudah bisa dijelaskan dengan akal, logika dan sains, apakah saya masih tetap akan memeluk Islam dan percaya kepada Allah?”. Hampir semua fenomena di dunia ini sudah bisa dijelaskan oleh sains. Saya teringat salah satu pelajaran di Pesantren yang mengatakan bahwa salah satu tanda dari kiamat adalah diangkatnya Al-quran ke langit. Menurut saya ini adalah salah satu pengandaian untuk satu fenomena bahwa kita sebagai umat Islam tidak lagi mengkaji kandungan dalam Al-Quran. Hal ini merupakan akibat dari fenomena yang ada di dunia ini sepenuhnya bisa dijelaskan oleh sains yang merupakan produk dari akal dan logika kita. Akhirnya, kita tidak lagi percaya kepada agama dan Tuhan serta berlih percaya kepada akal dan logika kita. Hal ini terjadi kepada para ilmuan sains yang Atheis di dunia ini. Mereka percaya bahwa alam ini berjalan sesuai dengan hukumnya masing-masing baik itu hokum fisika, kimia, ataupun biologi. Tetapi mereka membuat satu kesalahan yang fatal. Mereka tidak bertanya siapakah yang menciptakan hukum-hukum alam ini.

3 komentar:

  1. Mantab bang. Akal harus di imbangi dengan iman. Begitu pula iman harus di imbangi dengan akal. Sebenernya beriman dulu atau berakal dulu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. tunggu aja tulisan selanjutnya.. banyak juga sih yang nanyain pertanyaan itu

      Hapus
  2. Waah, aku bersyukur menemukan reading list ku masih ada yg update. Anw halo Dit!

    BalasHapus