Senin, 25 Desember 2017

Mencoba Berpendapat

Senin, 25 Desember 2017


Sore senin menjelang maghrib di hari senin ini saya mendapatkan sebuah Direct Message di Instagram dari seorang teman. Isi DM-nya berkaitan dengan LGBT. Dia menanyakan pendapat saya tentang LGBT. Entah kenapa saya ingin berfikir berbeda dengan mayoritas masyarakat. Kita tahu sendiri lah jika mayoritas masyarakat Indonesia menolak LGBT. Saya tidak mendukung LGBT. Tapi saya juga tidak menolak LGBT. Entah di posisi mana saya berada.

Jumat, 22 Desember 2017

Pembangunan VS Alam

Sabtu, 23 Desember 2017

“Ini bukan cuman urusan tanah, tapi ada juga ada kehidupan disana. Sesuatu tumbuh dari tanah (mereka hidup)”. (Aldo Leopold)

Pagi ini saya terbangun lumayan cepat. Yaa walaupun alasannya adalah untuk menonton salah satu team sepak bola favorite saya bertanding. Tetapi, setelah pertandingan itu, saya tidak bisa tertidur lagi. Yaa mungkin karena jam tidur sudah kembali normal seperti biasa. Hari ini merupakan hari libur, Long Weekend lebih tepatnya. Ini membuat saya bosan. Bingung mau ngapain. Baca buku bosen terus juga mau liburan tapi mau kemana dan yang paling penting sih liburannya sama “siapa” hehehe. Akhirnya saya putuskan untuk maen Sudoku. Tapi, lama kelamaan bosen juga sih. Yaudah akhirnya buka youtube aja dah. Setelah buka youtube, muncul salah satu rekaman diskusi disalah satu channel tentang Ekofenimisme yang dipandu oleh Rocky Gerung. Setelah menonton sedikit diskusi tersebut, saya teringat akan tulisan saya sebelumnya (Tanpa Judul). Yang sedikit isinya membahas tentang masalah pembangunan bandara di Kulon Progo. Pembangunan yang merugikan warga setempat dan ada kemungkinan bisa merusak keseimbangan alam disana.

Menurut saya (mungkin kalian juga), sampai saat ini Indonesia masih berstatus Negara berkembang (entah kapan menjadi Negara maju). Saya tidak tahu pemikiran ini tercetus darimana, saya melihat bahwa suatu Negara dikatakan maju, ketika Negara tersebut kuat dalam bidang ekonomi. Karena itulah untuk menjadi Negara maju, Indonesia harus kuat dibidang ekonomi. Untuk membuat ekonomi Indonesia maju, maka harus ditunjang dengan Infrastruktur yang mumpuni. Karena itulah kita tidak bisa lari dari yang namanya pembangunan. Tetapi, pertanyaannya adalah “Apakah pembangunan yang dilakukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan alam?” tidak bisakah pembangunan juga melihat alam sebagai suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Padahal menurut Aldo Leopold, manusia hanya sebagian kecil dari organisme di alam ini. artinya, ketika Leopold berpendapat demikian, ada relasi antara manusia dengan alam. Kasarnya ialah “Ketika alam rusak, maka Manusia juga akan rusak”

Senin, 18 Desember 2017

Tanpa Judul

Selasa, 19 Desember 2017

Ide tulisan kali ini sebenarnya berawal dari suatu postingan di Instagram akun @berdikaribook. Yang inti dari postingannya adalah tentang penghancuran gerakan kiri di Indonesia. Yaa kita tahu semua lah apa sih itu gerakan kiri. Kenapa sampai dinamakan “kiri”. Istilah sayap kiri sendiri berawal ketika revolusi Prancis yang mengacu kepada tempat duduk dewan legislative. Ketika kaum monarkis yang mendukung Ancien Regime biasa disebut kaum kanan karena mereka duduk sebelah kanan diruang legilatif. Ancien Regime bisa juga disebut Rezim Ancien ialah suatu system aristokratik di Perancis yang dipimpin oleh dinasti Valois dari Bourbon pada abad ke-14 sampai abad ke-18. Rezim ini menerapkan banyak sekali aspek Feodalisme, khususnya hak-hak istimewa untuk kalangan pendeta dan bangsawan (Wikipedia.com). Sedangkan kaum kiri merupakan kaum yang menolak Ancien Regime. Dan mereka duduk di sebelah kiri ruang legislative.  Intinya adalah Gerakan Kiri merupakan gerakan yang berpihak pada rakyat, yang melawan penindasan, yang memperjuangkan keadilan. Kalau bahasa kaum Marxis adalah meniadakan penghisapan manusia atas manusia lainnya.

Di Indonesia sendiri (dalam postingan @berdikaribook), benih-benih gerakan kiri di Indonesia dimulai pada masa Ibu Kartini. Yang dilakukan beliau adalah menulis berbagai kritik terhadap Feodalisme dan Kolonoalisme. Setelah itu, muncul-lah tokoh-tokoh seperti Semaoen, Alimin dan lain-lain pada masa Syarikat Islam yang membela para buruh dan kaum tani (baca tulisan saya yang berjudul “dari perkebunan tebu hingga Partai Komunis Indonesia). Lalu pada masa revolusi kemerdekaan ide-ide kiri direpresentasikan dalam PANCASILA khususnya pada sila tentang KEDAULATAN RAKYAT DAN KEADILAN SOSIAL.

Minggu, 17 Desember 2017

Bulan dan Bintang di Atas Kubah Masjid

Selasa, 12 Desember 2017

Kemarin malam ada salah satu teman yang menanyakan tentang simbol-simbol ke-Islam-an yang ada di Indonesia. Dia menanyakan tentang sarung dan peci yang lekat dengan kaum santri dan tentunya santri dekat sekali dengan Islam. Tetapi, saya memikirkan hal yang lain, yaitu kenapa kebanyakan kubah masjid di Indonesia ada lambang Bulan dan Bintang (bukan salah satu partai politik yaaa) atau hanya bulan saja. Kenapa sih bisa kepikiran buat simbol untuk kubah masjid itu seperti itu bukan simbol yang lain seperti matahari atau apapun itu yang melambangkan sebuah kekuasaan. Kenapa kekuasaan? Yaa karena masjid sering disebut dengan rumah Allah, berarti yaa seharusnya diletakkanlah simbol kekuasaan Allah. Yaa walaupun bulan atau bintang juga lambang kekuasaan Allah. Tetapi, yaa kenapa harus bulan atau bintang. *ini kenapa jadi bolak-balik gini dah*. Yaaa intinya saya mau mencoba menjawab kenapa yang diambil adalah simbol bulan dan bintang tersebut.

Keadaan Masyarakat Arab.

Seperti yang kita semua ketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW. dilahirkan di kota Mekkah. Beliau lahir pada hari senin, 12 Rabiul Awal. Nah, pada saat itu kota Mekkah dilanda suatu yang namanya zaman kegelapan, kita biasa menyebutnya zaman Jahiliyah. Zaman dimana peradaban Mekkah mengalami kemunduran terutama masalah Akhlaq. Ketika itu, moralitas masyarakat arab sudah jatuh ke titik terendah. Perang antar suku, perbudakan serta penidasan oleh yang kaya terhadap yang miskin atau bisa kita bilang penghisapan manusia atas manusia terjadi pada masa jahiliyah. Hal yang seperti ini sama dengan yang terjadi ketika revolusi industry di eropa. Masyarakat terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas borjuis (penguasa) dan kelas Proletar (budak).

Selasa, 12 September 2017

Jangan Baca Buku !!!

Selasa, 12 September 2017

Pada Tahun 2012, Unesco mendapati minat baca di Indonesia hanya berada dikisaran 0,001. Artinya, dari 1000 orang, hanya satu orang yang mempunyai minat baca. Dan pada tahun 2015, Survei Most Literated Nation in the World menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 Negara. Indonesia hanya lebih baik dari Botswana (saya juga gatau itu Negara dimana). Sudah beberapa tahun ini saya tergabung disebuah komunitas literasi (perpustakaan jalanan) yang ada di Kota Malang. Alasan saya ikut komunitas ini bisa dibilang akibat ketidakpuasan saya akan perpustakaan yang disediakan oleh kampus.  Kita semua tahu bagaimana pertauran yang ada di perpustakaan kampus. Mulai dari tidak boleh masuk bagi yang tidak memakai sepatu, tidak boleh berisik, dan lain sebagainya. Yang menjadi pertanyaan adalah apa hubungannya antara memakai atau tidak memakai sepatu dengan minat baca. Apakah dengan memakai sepatu, seseorang lebih bisa menyerap isi dari buku daripada yang tidak memakai sepatu? Mulai dari sinilah saya meninggalkan perpustakaan kampus dan bergabung dengan perpustakaan keliling ini. selain bisa terbebas dari peraturan perpustakaan yang tidak jelas itu, saya juga bisa berbagi buku-buku bacaan saya dengan orang-orang yang mempunyai minat baca buku yang tinggi tetapi tidak bisa membeli buku karena alasan ekonomi. Tetapi, setelah lama bergaul dengan orang-orang komunitas ini, saya bisa mengatakan bahwa JANGAN MEMBACA BUKU. Ada beberapa alasan kenapa saya berkata seperti itu.

Kesepian

Pertama, orang yang suka baca buku itu adalah orang yang kesepian. Jika kita melihat generasi sekarang yang digenggamannya adalah smartphone, indikasi orang itu kesepian atau tidak adalah berapa banyak chat dari lawan jenis yang dia terima atau balas setiap harinya. Kita lihat saja postingan yang ada dibeberapa media social, orang yang jomblo (beneran jomblo dalam artian ga punya gebetan apalagi pacar) selalu idientik dengan yang namanya kesepian. Nah, jika orang itu banyak chat (bukan masalah tugas, PR, ataupun kerjaan) dari lawan jenis otomatis bisa kita katakan bahwa dia kesepian. Nah, karena kesepian ini lah dia mencari suatu pelarian yang membuatnya tidak kesepian. Salah satunya adalah membaca, entah itu baca buku, baca line today atau apapun itu. Berkaca dari pengalaman pribadi, setiap hari saya emang dapat banyak chat. Tapi, itu chat rutinan dari official account yang ada di line atau grup yang ada di Whatsapp. Chat dari lawan jenis pun bukan sebagai gebetan, melainkan hanya nanya tugas, atau nanya sesuatu apapun itu.

Selasa, 20 Juni 2017

Solusi dari Merebaknya Petasan Ketika Ramadhan

Selasa, 20 Juni 2017

Ada satu fenomena yang selalu kita hadapi ketika Ramadhan datang, bukan tentang puasa, tarawih, atau mudik yang saya bahas kali ini. tetapi, ada satu fenomena yang menjengkelkan ketika bulan ramadhan, yaitu merajalelanya petasan. Sangking banyaknya petasan ketika bulan ramadhan, didepan kost saya seperti medan perang di GAZA. Yaa emang sih kost saya ada dibilangan Gazayana (sumpah ini jayus) hahah :p.

Ketika ramadhan datang, polisi pun disibukkan dengan merazia pabrik dan pedagang petasan. Setiap tahun ini pasti terjadi. Penyitaan dan pemusnahan petasan mengikuti setiap tahunnya. Entah berapa uang yang mubazzir untuk membuat petasan dan kemudian tidak bisa dijual karena disita aparat. Dan entah juga berapa uanng yang dianggarkan untuk operasi petasan setiap tahunnya. Menurut saya, fenomena petasan ini hampir sama seperti fenomena kebakaran hutan. Setiap tahun pasti terjadi dan seperti tidak ada cara untuk menanggulangi agar tidak terjadi ditahun berikutnya.

Coba kita berfikir, apa yang melatarbelakangi banyaknya petasan di bulan Ramadhan. Pertama, menurut saya, ini karena kebiasaan yang sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Petasan dan ramadhan tidak bisa dilepaskan. Ketika selesai berbuka anak-anak dan remaja awal menghabiskan malam ramadhan dengan bermain petasan. Saya pun berfikir seperti ini ketika saya masih kecil. Jangankan anak-anak dan remaja awal, bahkan para mahasiswa pun yang menurut kita sudah dewasa masih memainkan petasan untuk mengisi malam ramadhan. Nah, karena permintaan masyarakat Indonesia terhadap petasan sangat tinggi ketika Ramadhan, maka tidak mengherankan petasan menjadi banyak ketika Ramadhan. Kedua, adalah masalah ekonomi, ini masih nyambung dengan alasan pertama. Ramadhan hanya sekali selama satu tahun (Masa Sih?). nah, periode ini lah yang ditunggu-tunggu oleh para produsen petasan. Kapan lagi bisa meraup untung besar kalau bukan sekarang. Soalnya, kalau bulan bulan biasa kan petasan paling dipakai buat sunatan atau nikahan. Itu pun ga setiap hari orang nikahan atau sunatan pakai petasan, paling ya orang betawi doang. Tapi, beda kasus kalau bulan Ramadhan, mau ada nikahan atau ga, mau betawi atau ga, setiap malam tetap main petasan. Bisa dibayangkan kan bagaimana keuntungan para penjual atau produsen petasan ketika Ramadhan datang. Tidak heran jika Ramadhan dibilang bulan penuh berkah.

Setelah kita mengetahui kenapa petasan menjadi marak ketika Ramadhan, langkah selanjutnya adalah, bagaimana menanggulangi fenomena ini. Kita tidak bisa memungkiri, petasan banyak mudhorotnya, selain menganggu kenyamanan ketika beribadah pada malam hari, petasan juga bisa melukai orang yang memainkannya. Sudah banyak kita mendengar berita petasan meledak ditangan. Para pembuat petasan mah ga pernah mikir akan jatuhnya korban, yang mereka pikirin gimana caranya mereka dapet uang untuk menyambung hidup. Terlebih lagi ketika mendekati lebaran yang harga kebutuhan naik. Solusinya sebenarnya simpel, yaitu membuat petasan tidak bisa meledak. Gimana caranya, siram pakai air? Jangan! Sayang airnya, lagi musim kemarau soalnya. Tutup pabriknya? Ga bisa juga. Seperti kata pepatah “mati satu tumbuh seribu”. Selama bahan untuk membuat petasan dijual bebas, pabrik petasan akan tetap hidup. Terus apa? Musnahkan bahan pembuat petasan? Yaa kali bahan itu cuman digunakan untuk membuat petasan. Kan ga juga. Lalu apa?

Seperti yang saya tulis diatas, kita buat petasan tidak bisa meledak. Dengan cara HENTIKAN PRODUKSI KOREK API. Menurut saya ini adalah solusi yang paling tetap untuk menyikapi fenomena petasan ketika Ramadhan. Hanya dengan korek api petasan bisa meledak. Lalu akan muncul sanggahan “Pakai Kompor gas kan bisa”. Ini sanggahan bodoh. Pertama, kalian emang mau bawa kompor gas kemana mana. Berat, lagiyan besar juga. Kedua, masalah waktu. Petasan akan meledak sepersekian detik setalah disundut. Dengan menggunakan korek api saja masih bisa meledak ditangan apalagi dengan menggunakan kompor gas. Harus ke dapur dulu, setelah itu lari lagi ke jalan untuk melempar petasannya. Yaaa keburu meledak ditangan juga kan. Dengan menghientikan korek api, para polisi bisa menghemat anggaran uang bensin untuk merazia pabrik petasan. Dan tenaga polisi juga bisa lebih digunakan untuk memberantas kejahatan malam hari. Kan sekarang lagi marak-maraknya kejahatan malam hari. Masa kalah sama kaum vigilante yang berpakaian putih-putih.
Menghentikan produksi korek api juga akan menghentikan aktivitas merokok. Yaa kali kemana mana bawa kompor gas buat nyalain rokok hahahaha. Tapi, kalo pake vape gimana ya? Gatau juga sih kalo pakai vape hahah :p.

Itu aja untuk kali ini, ga jelas sih sebenarnya tulisan ini. cuman yaa mau nulis aja. Udah lama ga nulis. Daaaah :p

Senin, 03 April 2017

Dari Perkebunan Tebu Hingga Partai Komunis Indonesia (Book Review : "Dibawah Lentera Merah")

3 April 2017

Beberapa hari ini saya mulai membuka kardus-kardus berisi buku-buku saya selama kuliah di Malang. Ada beberapa buku yang sangat menarik perhatian saya untuk dibaca kembali, khususnya buku-buku Soe Hok-Gie, baik tulisannya sendiri maupun kumpulan tulisan sahabat-sahabatnya tentang dirinya. Tidak perlu saya ceritakan siapa itu Hok-Gie karena ditulisan sebelumnya sudah saya ceritakan tentang sosok Hok-Gie. Dari 6 buku tentang Hok-Gie yang saya punya, perhatian saya tertuju kepada satu buku yang diadaptasi dari Skripsi Sarjana Muda-nya Hok-Gie yang berjudul “Di Bawah Lentera Merah”. Dalam buku ini, Hok-Gie mencoba menarasikan awal munculnya Komunisme di Indonesia sebelum tahun 1926 yang dimulai dnegan studi terhadap kaum “Marxis” Indonesia. Dan benang merahnya dimulai dari Sarekat Islam (SI) Semarang. SI yang awalnya bergereak disisi perdagangan menjadi pergerakan rakyat.

Dalam Pendahulunya Hok-Gie menulis bahawa permulaan abad ke-20 merupakan periode dimana terjadi perubahan sosial yang sangat besar di Tanah Air. Ini terjadi karena perkembangan pendidikan barat, pertumbuhan penduduk dan mulainya penggunaan tekhnologi modern di Indonesia. Dalam BAB I buku “Orang-Orang Di Persimpangan Kiri Jalan”, Hok-Gie menulis bahwa dengan perkenalan Tekhnik Barat yang begitu menakjubkan, berdiri sekolah-sekolah yang merupakan pintub gerbang ke arah penguasaan ilmu pengetahuan. Perkenalan dengan pendidikan barat yang berimpit dengan perubahan serba cepat, kemudian menimbulkan krisis pemikiran di dalam hati pemuda Indonesia. Perkenalan dengan ide-ide persamaan, kemerdekaan, Hak Azasi Manusia, martabat bangsa dan lain-lain. dan para pemuda ini melihat kenyataan sehari-hari hanya berisikan tentang penghinaan terhadap mereka yang dilakukan Penjajah. Dari pesatnya perkembangan pendidikan inilah Pemuda Indonesia muil;ai sedikit melakukan perlawanan kepada Belanda.

Senin, 16 Januari 2017

Kenapa Komunisme Anti-Agama

Senin, 16 Januari 2017

Beberapa hari lalu saya memposting foto 3 buah buku yang saya miliki. Buku tulisan Prof. Franz Magnis Suseno. Buku pertama berjudul Pemikiran Karl Marx, buku kedua berjudul dalam baying-bayang Lenin dan yang ketiga berjudul dari Mao ke Marcuse. Jika kita lihat buku-buku tersebut mencerinkan ideology komunis. Maka dari itu ada beberapa komentar negative ketika saya memposting foto 3 buku itu. Bahkan adik saya sendiri memberikan komentar “hati-hati di sweeping ormas”. Saya berfikir apa urusannya ormas melakukan sweeping terhadap buku bacaan saya. Menurut saya, mempelajari sesuatu tidak sama dengan menganutnya, apalagi menyebarkannya. Setelah kejadian 30 September 1965, ideology komunis dilarang di Indonesia. Ideology komunis dilarang disebarkan. Tidak hanya pelarangan penyebarannya tetapi ideology komunis juga disingkirkan dari materi yang dipelajari di Universitas-universitas dan perguruan tinggi. Akibatnya, ini menjadi penghianatan terhadap pembukaan UUD 1945. Kehidupan bangsa tidak dicerdaskan, melainkan dibodohkan. Ideology-ideology yang dianggap berbahaya bukannya dihadapi secara kritis dan argumentative, tetapi ditabukan dan dimitoskan (Franz Magnis Suseno: Pengantar pemikiran Karl Marx). Jadi, ketika saya membaca buku-buku komunis bukan berarti saya akan menganut paham komunis atau menyebarkannya, tetapi saya akan melihat dimana celah untuk bisa mengcounter paham tersebut.

Saya bertanya dengan beberapa teman saya kenapa mereka menolak komunis. Mayoritas jawaban mereka adalah bahwa komunis itu menolak agama. Padahal ada yang lebih berbahaya dari itu. Ketika partai komunis berhasil memegang kekuasaan, dia tidak akan melepaskannya secara sukarela. Dia akan menyingkirkan kekuatan politik lain, menghapus pemilihan umum secara bebas, dan memasang aparat kontrol totaliter terhadap masyarakat yang akan menindas segala perlawanan. Jika memang komunis anti terhadap agama, lalu alasan yang akan kita lontarkan atas apa yang terjadi di RRC dan Korea Utara. Apakah pemerintah disana benar-benar melakukan pelarangan terhadap agama?

Dalam tulisan ini saya mencoba menggali kenapa di Indonesia, komunis itu begitu lekat dengan anti terhadap agama. Jika kita berbicara komunis, maka tidak lepas dari seorang Tokoh bernama Karl Marx. Seorang tokoh yang kita kenal sebagai orang yang sosialis. Ajarannya Marx kemudian hari lebih dikenal dengan Marxisme dan kemudian dimodifikasi oleh Lennin menjadi Marxisma-Leninisme atau lebih dikenal dengan Komunisme. Marxisme-Leninisme ini terdiri dari Marxisme plus ajaran-ajaran Engels dan Lenin. Artinya, jika kita ingin memahami Komunisme alangkah lebih baiknya kita mempelajari Marxisme.