Sabtu, 23 Juni 2018

Tidak Ada Judul

Rabu, 30 Mei 2018

Hari ini saya baru menamatkan salah satu anime yang berjudul “Heavy Object”. Sebuah anime yang menceritakan sebuah peperangan dengan menggunakan senjata jenis baru yang dinamakan Object. Kali ini bukan tentang anime atau perang. Tetapi tentang sebuah celetukan seorang tokoh utama yang bernama Quwentur. Dalam salah satu pertempuran di daerah yang dinamakan Oceania dia nyeletuk gini “Ini kan sebuah Negara loh. Apakah mereka termotivasi terhadap sesuatu? Ataukah hanya kumpulan manusia saja?”. Setelah itu saya terpaku beberapa saat. Memang sih ini cuman sebuah celetukan yang sederhana, tetapi malah memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak saya yang hampir sama dengan Quwentur. Apasih yang membuat rakyat Indonesia pada waktu itu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Padahal dari segi ekonomi, ketika dijajah Belanda kita sudah mumpuni. Berbeda dengan sekarang. Yaa kita tahu sendiri lah 1 dolar aja sudah menembus angka 14.000 rupiah. Belum lagi dengan masalah keamanan dalam negeri. Belum lagi kasus terorisme yang baru-baru ini terjadi. Dari buku sejarah kita tahu bagaimana Belanda dengan mudahnya menghancurkan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai macam cara. Sebenarnya apasih yang diperjuangkan oleh para pahlawan tersebut. Apasih motivasi mereka sehingga mereka dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Jika kita melihat Pembukaan UUD 1945, ada kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah itu motivasi para pahlawan kita, hingga kata-kata tersebut masuk dalam Pembukaan UUD 1945. Aaah menurut saya tidak juga. Kita lihat saja apa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap ideology yang mereka sebut berbahaya. Mereka melakukan indoktrinasi bukan literasi. Ideology yang menurut pemerintah berbahaya tidak dikaji secara akademis tapi malah dilarang keberadaannya. Dilarangnya pun dengan menggunakan “mitos” contohnya ideology komunisme. Pemerintah Orde Baru melarang ideology ini dengan menghancurkan orang-orang yang berkecimpung di PKI beserta organisasi sekitarnya dan mereka yang dituduh Komunis, bukan malah melakukan kajian akademik dan menjawab pertanyaan kenapa ideology ini dilarang. Lalu, mana sisi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Ada lagi masalah Ormas yang dianggap “berbahaya”. Pemerintah malah menerbitkan Perpu Ormas yang tidak jelas mana sisi kemendesakan perpu itu dikeluarkan. Lalu apa motivasi Negara ini ada?

Kebebasan? Mungkin ini yang menjadi motivasi para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Karena pada waktu masa penjajahan, kita sebagai warga pribumi tidak bebas “bergerak”. Aaaah menurutku tidak juga. Setelah kemerdekaan, pemertintah malah tidak memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia. Di awal Negara ini berdiri kita bisa melihat apa yang terjadi terhadap Sultan Sjahrir, Tan Malaka dan beberapa tokoh yang kritis terhadap pemerintah malah berakhir dengan hukuman penjara atau bahkan hukuman mati. Apalagi pada masa Orde Baru. Hari ini ngomong “saya akan menjadi Presiden” saja, esok hari kita tidak bakalan tahu bagaimana nasib orang yang ngomong seperti itu. Yaa seperti apa yang dikatakan oleh Soe Hok Gie “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”. Lalu apa Motivasi Negara ini ada?

Keadilan social. Oooh mungkin saja ini. karena pada masa penjajahan Indonesia terbagi dalam beberapa kelas. Apalagi pribumi ada di kelas paling bawah. Yaa kalau dalam Al-quran sih “asfala safilin” hihihihi. Tanggal 28 Mei kemarin, saya membaca artikel di indoprogress.com yang berjudul “20 Tahun Reformasi: Dari Oligarki Menuju Plutokrasi?”. Disana disebutkan pada tahun 2017 ada sebuah survey yang dilakukan oleh Credit Suisse. Survey ini menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia, menguasai 49,3% kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia menduduki posisi 4 negara dengan ketimpangan social tertinggi di dunia. Dari beberapa buku yang saya baca, orde baru sebagai penyumbang terbesar ketimpangan social dari sisi “uang”. Dari artikel yang sama, saya membaca bahwa pada masa orde baru, figure Soeharto memegang peranan penting dalam akumulasi kekayaan. Bahasa gampangnya sih seperti yang disampaikan Yoshihara Kunio dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, “berkembangnya bisnis dan konglomerasi lebih disebabkan oleh dukungan politik, bukan karena kemampuan entrepreneurship. Jadi, kalau mau usahanya lancar, kita harus dekat dengan penguasa atau menjadi penguasa. Pernyataan Yoshihara ini ddiamini oleh ICW. survey yang dilakukan oleh ICW. Pada tahun 2014-2019, ada 293 orang (52,3%) anggota DPR belatarbelakang pengusaha.

Tidak hanya masalah “uang”, politik pun juga begitu. Jadi begini ceritanya. Saya lahir disatu daerah pesisir Provinsi Jambi, kita sebut saja Kuala Tungkal yang merupakan ibukota dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dari saya lahir sampai umur saya 25 tahun Bupati dan Wakil Bupati, orangnya itu-itu saja. Selama saya hidup, saya hanya menemukan 2 nama yang ada di kursi Bupati. Itu baru tingakatan kabupaten. Belum lagi tingkatan Provinsinya. Gubernur Jambi sekarang yaitu Zumi Zola, merupakan anak dari mantan Gubernur Jambi yaitu Zulkifli Nurdin. Dan Zulkifli Nurdin juga anak dari salah seorang yang bisa kita sebut kaya-raya (karena usahanya dimana-mana) di Jambi, yaitu Nurdin Hamzah. Ujung-ujungnya pengusaha lagi kan. Hehehehe

Dari masalah keadilan social ini, saya dapat mengambil ‘ibroh. Indonesia adalah Negara yang dikuasi oleh segelintir orang atau bisa kita sebut Oligarki. Lalu apa bedanya Indonesia yang demokratis dengan Korea Utara yang Komunis?. Dari pandangan saya pribadi (yang saya peroleh dari membaca beberapa buku tentang komunisme), saya menolak ideology komunisme karena mereka menciptakan oligarki. Negara yang berpaham komunis, semuanya terpusat pada satu pusat yaitu partai Komunis Negara masing-masing. semua kebijakan Negara tergantung apa yang diamanatkan oleh partai. Lalu apa bedanya Indonesia yang? Yaa bedanya sih kalau Negara komunis partainya cuman satu, tapi kalau Indonesia partainya banyak. Udah itu doang bedanya. Kalau katanya Soe Hok Gie mah, semua tergantung “BIG BOSS”. Jadi, kita menolak model Negara yang dijalankan dengan ideology komunis, tetapi secara tidak sadar kita malah menjalankan Negara ini seperti Negara komunis.

Lalu, kembali lagi kepada pertanyaan awal. Apakah Negara kita termotivasi kepada suatu? Ataukah hanya kumpulan manusia saja? Atau, Negara ini cuman sebuah Organisasi dari kelas yang berkuasa?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar