Rabu,
30 Mei 2018
Hari
ini saya baru menamatkan salah satu anime yang berjudul “Heavy Object”. Sebuah
anime yang menceritakan sebuah peperangan dengan menggunakan senjata jenis baru
yang dinamakan Object. Kali ini bukan tentang anime atau perang. Tetapi tentang
sebuah celetukan seorang tokoh utama
yang bernama Quwentur. Dalam salah satu pertempuran di daerah yang dinamakan
Oceania dia nyeletuk gini “Ini kan
sebuah Negara loh. Apakah mereka termotivasi terhadap sesuatu? Ataukah hanya
kumpulan manusia saja?”. Setelah itu saya terpaku beberapa saat. Memang sih ini
cuman sebuah celetukan yang
sederhana, tetapi malah memunculkan sebuah pertanyaan dalam benak saya yang
hampir sama dengan Quwentur. Apasih yang membuat rakyat Indonesia pada waktu
itu berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Padahal dari segi ekonomi, ketika
dijajah Belanda kita sudah mumpuni. Berbeda dengan sekarang. Yaa kita tahu
sendiri lah 1 dolar aja sudah menembus angka 14.000 rupiah. Belum lagi dengan
masalah keamanan dalam negeri. Belum lagi kasus terorisme yang baru-baru ini
terjadi. Dari buku sejarah kita tahu bagaimana Belanda dengan mudahnya
menghancurkan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia
dengan berbagai macam cara. Sebenarnya apasih yang diperjuangkan oleh para
pahlawan tersebut. Apasih motivasi mereka sehingga mereka dengan gigih
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Jika
kita melihat Pembukaan UUD 1945, ada kata-kata mencerdaskan kehidupan bangsa.
Apakah itu motivasi para pahlawan kita, hingga kata-kata tersebut masuk dalam
Pembukaan UUD 1945. Aaah menurut saya tidak juga. Kita lihat saja apa yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap ideology yang mereka sebut berbahaya. Mereka
melakukan indoktrinasi bukan literasi. Ideology yang menurut pemerintah
berbahaya tidak dikaji secara akademis tapi malah dilarang keberadaannya.
Dilarangnya pun dengan menggunakan “mitos” contohnya ideology komunisme.
Pemerintah Orde Baru melarang ideology ini dengan menghancurkan orang-orang
yang berkecimpung di PKI beserta organisasi sekitarnya dan mereka yang dituduh
Komunis, bukan malah melakukan kajian akademik dan menjawab pertanyaan kenapa
ideology ini dilarang. Lalu, mana sisi “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Ada
lagi masalah Ormas yang dianggap “berbahaya”. Pemerintah malah menerbitkan
Perpu Ormas yang tidak jelas mana sisi kemendesakan perpu itu dikeluarkan. Lalu
apa motivasi Negara ini ada?
Kebebasan?
Mungkin ini yang menjadi motivasi para pahlawan memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Karena pada waktu masa penjajahan, kita sebagai warga pribumi tidak
bebas “bergerak”. Aaaah menurutku tidak juga. Setelah kemerdekaan, pemertintah
malah tidak memberikan kebebasan kepada rakyat Indonesia. Di awal Negara ini
berdiri kita bisa melihat apa yang terjadi terhadap Sultan Sjahrir, Tan Malaka
dan beberapa tokoh yang kritis terhadap pemerintah malah berakhir dengan
hukuman penjara atau bahkan hukuman mati. Apalagi pada masa Orde Baru. Hari ini
ngomong “saya akan menjadi Presiden” saja, esok hari kita tidak bakalan tahu
bagaimana nasib orang yang ngomong seperti itu. Yaa seperti apa yang dikatakan
oleh Soe Hok Gie “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah
orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah”.
Lalu apa Motivasi Negara ini ada?
Keadilan
social. Oooh mungkin saja ini. karena pada masa penjajahan Indonesia terbagi
dalam beberapa kelas. Apalagi pribumi ada di kelas paling bawah. Yaa kalau
dalam Al-quran sih “asfala safilin” hihihihi. Tanggal 28 Mei kemarin, saya
membaca artikel di indoprogress.com yang berjudul “20 Tahun Reformasi: Dari
Oligarki Menuju Plutokrasi?”. Disana disebutkan pada tahun 2017 ada sebuah
survey yang dilakukan oleh Credit Suisse.
Survey ini menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia, menguasai 49,3%
kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia menduduki posisi 4 negara
dengan ketimpangan social tertinggi di dunia. Dari beberapa buku yang saya
baca, orde baru sebagai penyumbang terbesar ketimpangan social dari sisi
“uang”. Dari artikel yang sama, saya membaca bahwa pada masa orde baru, figure
Soeharto memegang peranan penting dalam akumulasi kekayaan. Bahasa gampangnya
sih seperti yang disampaikan Yoshihara Kunio dalam bukunya yang berjudul
Kapitalisme Semu di Asia Tenggara, “berkembangnya bisnis dan konglomerasi lebih
disebabkan oleh dukungan politik, bukan karena kemampuan entrepreneurship. Jadi, kalau mau usahanya lancar, kita harus dekat
dengan penguasa atau menjadi penguasa. Pernyataan Yoshihara ini ddiamini oleh
ICW. survey yang dilakukan oleh ICW. Pada tahun 2014-2019, ada 293 orang
(52,3%) anggota DPR belatarbelakang pengusaha.
Tidak
hanya masalah “uang”, politik pun juga begitu. Jadi begini ceritanya. Saya
lahir disatu daerah pesisir Provinsi Jambi, kita sebut saja Kuala Tungkal yang
merupakan ibukota dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dari saya lahir sampai
umur saya 25 tahun Bupati dan Wakil Bupati, orangnya itu-itu saja. Selama saya
hidup, saya hanya menemukan 2 nama yang ada di kursi Bupati. Itu baru
tingakatan kabupaten. Belum lagi tingkatan Provinsinya. Gubernur Jambi sekarang
yaitu Zumi Zola, merupakan anak dari mantan Gubernur Jambi yaitu Zulkifli
Nurdin. Dan Zulkifli Nurdin juga anak dari salah seorang yang bisa kita sebut
kaya-raya (karena usahanya dimana-mana) di Jambi, yaitu Nurdin Hamzah.
Ujung-ujungnya pengusaha lagi kan. Hehehehe
Dari
masalah keadilan social ini, saya dapat mengambil ‘ibroh. Indonesia adalah Negara yang dikuasi oleh segelintir orang
atau bisa kita sebut Oligarki. Lalu apa bedanya Indonesia yang demokratis
dengan Korea Utara yang Komunis?. Dari pandangan saya pribadi (yang saya
peroleh dari membaca beberapa buku tentang komunisme), saya menolak ideology
komunisme karena mereka menciptakan oligarki. Negara yang berpaham komunis,
semuanya terpusat pada satu pusat yaitu partai Komunis Negara masing-masing.
semua kebijakan Negara tergantung apa yang diamanatkan oleh partai. Lalu apa
bedanya Indonesia yang? Yaa bedanya sih kalau Negara komunis partainya cuman
satu, tapi kalau Indonesia partainya banyak. Udah itu doang bedanya. Kalau
katanya Soe Hok Gie mah, semua tergantung “BIG BOSS”. Jadi, kita menolak model
Negara yang dijalankan dengan ideology komunis, tetapi secara tidak sadar kita
malah menjalankan Negara ini seperti Negara komunis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar