Minggu, 08 Juli 2018

Merdeka? Menurut saya belum


Minggu, 8 Juli 2018

Tepat satu minggu yang lalu (1 Juli 2018), ketika saya masih berada di Bekasi, malam itu saya masih memperolok Spanyol yang kalah adu pinalti melawan Rusia. Dan memperolok teman saya yang kalah taruhan, padahal taruhannya cuman 10ribu. Sungguh taruhan yang nanggung sekali. Setelah pulang dari tempat “ngopi”, saya membuka twitter dan menemukan sebuah kabar yang tidak menggembirakan dari Kota Malang. Ada bentrokan antara mahasiswa papua dengan warga sekitar kontrakan mereka. banyak berita yang simpang siur tentang akar masalah bentroknya warga dengan mahasiswa papua tersebut. Tapi satu yang saya tahu, bahwa bentrokan tersebut adalah karena pembubaran acara nonton film dan diskusi yang diselenggarakan oleh mahasiswa papua. Kenapa bisa seperti itu? Karena 1 juli merupakan hari yang sangat penting bagi masyarakat papua. Dan yang pasti saya melihat beberapa twit tentang acara tersebut.

saya tidak mempermasalahkan tentang masalah “penentuan nasib papua oleh masyarakat papua”, “kemerdekaan papua” atau masalah-masalah “seksi” lainnya yang menyangkut papua. Saya juga tidak termasuk kedalam organisasi papua merdeka bahkan saya tidak tahu menahu akan organisasi tersebut. Tetapi yang saya permasalahkan adalah tidakan pembubaran acara tersebut. Entah siapa yang memprovokasi warga untuk membubarkan acara tersebut hingga akhirnya menimbulkan “Crash”. Bukannya merendahkan warga sekitar, tetapi saya tidak pernah berfikir warga akan melakukan tindakan seperti itu jika tidak ada yang memprovikasi. Saya pernah ngontrak dan pernah melakukan beberapa diskusi tapi warga sekitar tempat saya ngontrak diam saja bahkan terkesan acuh tak acuh dengan acara yang kami buat. Alhasil diskusi yang kami lakukan berjalan dengan lancar. Tetapi, kenapa hal tersebut tidak terjadi kepada teman-teman mahasiswa papua. Menurut saya, ketika suatu kota sudah berstatus sebagai kota pelajar, kegiatan diskusi dan sejenisnya merupakan hal yang lumrah. Karena konstitusi pun mendukung hal tersebut. Lalu ketika ruang diskusi atau yang sejenisnya sudah diberangus, apakah masih pantas kota tersebut masih berstatus sebagai kota pelajar?


Pernahkah kita bertanya kenapa para pahlawan kita menghendaki Indonesia untuk merdeka? Padahal ditangan penjajah kita bisa teratur. Permasalahan ekonomi bisa stabil, pendidikan juga bagus, dan satu lagi, kita bisa berlaga di Piala Dunia (walaupun waktu itu menggunakan nama Hindia Belanda). Tetapi, sesudah merdeka, apa yang terjadi? Ekonomi? Kita masih kalah dengan Singapura, pendidikan pun gitu. Piala dunia? Jangan terlalu berharap pada Indonesia. Untuk bersaing di asia tenggara aja kita masih saja memegang rekor sebagai Runner-up terbaik sepanjang masa. So, apa yang membuat para pahlawan ngotot untuk merdeka? Yuuup, benar sekali. KEBEBASAN. Menurut saya itulah esensi dari merdeka. Kita bisa bebas. Bebas menentukan sikap atas tanah air kita sendiri. Bebas untuk mengeola tanah air ini beserta isinya. Ada kata Free dalam kata Freedom, dan ini menurut saya pas untuk mengatakan bahwa merdeka artinya adalah KEBEBASAN. Setelah proklamasi kemerdekaan sampai sekarang, apakah kita bebas? Saya kita tidak. Lihat saja apa yang terjadi satu minggu lalu kepada mahasiswa papua. Untuk menonton film tentang sejarah “tanah” mereka sendiri saja, mereka tidak diberikan ruang. Apakah ini artinya kita menjajah mereka?  menurut saya, IYA

Tanggal 1 juli 2018, mahasiswa Papua di kota Malang menyelenggarakan acara diskusi dan nonton film tentang sejarah papua. Dalam alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social…. (diterusin sendiri)”. Saya menitik beratkan kepada kata-kata “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pemerintah indonesia dibentuk salah satunya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencerdaskan masyarakat Indonesia, kita tidak bisa hanya bergantung kepada sekolah formal dan bangku perguruan tinggi. Karena metode yang digunakan oleh kebanyakan guru dan dosen adalah indoktrinasi, bukan literasi. Ketika ujian, mereka para guru dan dosen jarang memberikan soal-soal dengan menggunakan metode analisis tetapi kebanyakan definisi. Dan ketika kita menjawab soal tersebut berbeda dengan apa yang guru dan dosen tersebut, maka kita akan dianggap salah. Maka dari itu, salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mencerdaskan kehidupan bangsa adalah menghidupkan ruang-ruang diskusi. Saya merasakan bahwa, otak saya bekerja lebih keras ketika bekerja di ruang-ruang diskusi dibanding ketika saya ada di kelas. Karena ketika berdiskusi, kita mencoba melakukan problem solving akan suatu masalah yang diajukan. Tetapi di kelas? yaa kita tahu sendiri lah bagaimana guru atau dosen yang berkuasa disana. Lalu, jika ruang-ruang diskusi ini diberangus, apakah kita masih bisa mengatakan kalau kita mencerdaskan kehidupan bangsa? untuk kasus mahasiswa Papua di Malang, ruang mereka untuk menjadi cerdas sudah dibatasi atau bahkan (untuk kasus 1 juli) dihilangkan.

Keberlangsungan ruang-ruang public untuk berdiskusi juga diatur dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3. “setiap orang berhak atas Kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan Pendapat”. Saya bukan orang yang ahli dalam masalah politik, pemerintahan, konstitusi atau administrasi Negara. Tetapi yang saya tahu adalah salah satu prinsip Negara demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. artinya, setiap Negara yang berlandaskan Demokrasi, membaskan warga negaranya untuk mengeluarkan pendapat. dan salah satu tempat untuk mengeluarkan pendapat adalah ruang diskusi. Jika kita mau menjadi warga Negara yang baik kita harus menjadikan UU sebagai kitab suci. Artinya apa yang sudah diamanatkan di dalam UU harus kita jalankan sebagaimana mestinya. Dalam buku (baca:catatan harian) Pergolakan Pemikiran Islam, Ahmad Wahib menulis, “salah satu sikap seorang democrat adalah tidak melakukan terror mental terhadap orang yang mau bersikap lain. Membiarkan orang lain menentukan sikap dengan perasaan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan isi hatinya sendiri merupakan pencerminan sikap seorang democrat”. Sebagai Negara demokrasi, kita sebagai warga Negara, seharusnya bersikap seperti apa yang ditulis oleh Ahmad Wahib. Para mahasiswa Papua di Malang mencoba untuk menentukan sikap atas apa yang terjadi di Papua. Kita, seharusnya mendengarkan mereka, mencoba mencari tahu apa sih yag sebenarnya terjadi di Papua. Selama ini kita hanya melihat Papua dari kacamata “Media Jakarta”, dari apa yang media (yang berkantor) di Jakarta katakana. Kita tidak pernah melihat Papua dari kacamata orang Papua sendiri. Kita tidak pernah tabayyun (melakukan konfirmasi) kepada masyarakat Papua atas apa yang terjadi pada mereka. di zaman sekarang kita tidak bisa sepenuhnya percaya kepada media-media Jakarta karena mereka sudah disusupi oleh para politisi dan digunakan untuk kepentingan politik. Setelah apa yang terjadi pada Mahasiswa Papua di Malang. Apakah kita masih bisa mengatakan bahwa kita merupakan Warga Negara Indonesia yang baik, yang menjalankan kewajiban sebagai warga Negara.

Setalah apa yang terjadi kepada mahasiswa Papua di Malang, saya melihat bagaimana kita belum bisa mengartikan apa yang disebut demokrasi, kita belum bisa memahami kata CERDAS, kita belum bisa menghargai perbedaan dan kita masih memaksakan apa yang menurut kita “benar” kepada orang lain. Dan satu lagi, KITA BELUM MERDEKA.

1 komentar: