Senin, 25 Desember 2017
Sore
senin menjelang maghrib di hari senin ini saya mendapatkan sebuah Direct Message di Instagram dari seorang
teman. Isi DM-nya berkaitan dengan LGBT. Dia menanyakan pendapat saya tentang
LGBT. Entah kenapa saya ingin berfikir berbeda dengan mayoritas masyarakat. Kita
tahu sendiri lah jika mayoritas masyarakat Indonesia menolak LGBT. Saya tidak mendukung
LGBT. Tapi saya juga tidak menolak LGBT. Entah di posisi mana saya berada.
Saya
(mungkin juga kalian) memandang bahwa masalah LGBT itu merupakan masalah
orientasi seksual. Tentunya jika berkaitan dengan masalah orientasi seksual,
setiap orang berbeda. Contohnya, ada yang suka dengan payudara besar, ada yang
suka dengan payudara yang kecil. Ada yang suka dengan janda, ada juga yang suka
dengan perawan. Dan lain sebagainya. Lain lagi kalau masalah pedofil. Itu mah
parah yaa, masa anak dibawah umur diembat
juga. Nah, masalah sebenarnya adalah perbedaan orientasi seksual.
Tidak
sengaja saya membaca tentang sebuah teori (mungkin teori, saya juga ga yakin)
tentang “Greatest Happiness”. Sederhananya
(menurut pemahaman saya), menurut teori tersebut, kebahagiaan itu diukur dari
mayoritas. Jadi, apa yang dikatakan mayoritas tentang kebahagiaan, yaa itulah
kebahagiaan yang harus diterima. Kita bisa masukkan tentang Greatest Happiness ini ke dalam kasus
LGBT. Kita pasti menganggap bahwa lebih bahagia atau lebih nikmat melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenis. Itu terjadi karena konstruk masyarakat
sekitar kita yang membentuk kita untuk berfikir seperti itu. Tapi, pernah-kah
kita menyelam kefikiran orang yang lebih nikmat berhubungan seksual sesama jenis.
Kita tidak pernah merasakan bagaimana nikmatnya bercumbu atau berhubungan
seksual dengan sesama jenis. Karena masalah Greatest
Happiness inilah kita menghakimi mereka yang berhubungan dengan sesama
jenis itu tidak normal. Ini sama hal-nya kita menganggap mereka seperti “orang
gila”. Kalau kata Immanuel Kant (kalau tidak salah), kita tidak boleh menaruh
moral kita kepada orang lain. Dalam kasus LGBT ini, kita tidak boleh memaksakan
apa yang menurut kita benar kepada orang lain. Karena setiap individu punya
kebahagiannya sendiri. Ini adalah masalah respect
kepada orang lain.
Dari
Instagramnya Tirto saya mendapat sedikit pengetahuan tentang sejarah status
Homoseksual. Tahun 1968, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat (APA) menggolongkan
Homoseksual sebagai sebuah penyakit jiwa. Lalu pada tahun 1973, 9664 Psikiater
melakukan voting. Hasilnya, homoseksualitas tak lagi tergolong penyait jiwa,
namun masih disebut “gangguan orientasi seksual”. Pada tahun, 1987 APA
menghapus homoseksual dari daftar penyakit jiwa. Mulai dari tahun inilah para
aktivis LGBT menuntut penyetaraan Hak. Kita ambil saja jika LGBT ini merupakan
penyakit. Tentunya penyakit itu harus disembuhkan. Bayangin dah bagaimana jika
orang terdekat kita terkena penyakit. Tentunya kita mendukung untuk cepat
sembuh kan bukan malah meninggalkan mereka. apalagi ini masalah kejiwaan yang
sangat perlu Social support atau
dukungan orang terdekat.
Jika
kita memasukkan aspek teologis, dalam Islam pun kaum LGBT ini mendapatkan
perhatian. Kita tahu bagaimana kisah kaum Nabi Luth. Tapi, permasalahannya
adalah apakah kaum seperti ini harus dibasmi? Padalah dalam Al-quran pun ada
ayat yang menyatakan bahwa kita harus menjaga diri kita dan keluarga kita dari
api neraka. Saya sampai sekarang beranggapan bahwa semua manusia itu keluarga,
karena kita sesama manusia merupakan saudara dan tentunya saudara adalah
keluarga. Keluarga kan tidak hanya masalah hubungan darah. Bisa saja suasana
keluarga kita dapatkan dari pertemanan. Jadi, jika kita menanggapi kasus LGBT
ini dari kacamata teologi, tentunya kita juga menyelesaikannya secara teologis.
Rangkul mereka dan buat mereka tidak lagi tersesat di jalan yang salah. Yaa seperti
kalau kita menjumpai orang yang tersesat dan menanyakan arah jalan kepada kita.
Bukan kita usir atau kita marahi, melainkan kita memberitahu kepada yang
bertanya tersebut kalau dia salah jalan dan menunjukkan jalan yang benar untuk
dia sampai kepada tujuannya.
Terima
kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar