Jumat, 16 Desember 2016

Selamat Ulang Tahun Soe Hok Gie : Apa Kabar Mahasiswa?

“…… tetapi apa yang lebih puitis selain bicara tentang kebenaran.”
(Soe Hok Gie)

Sabtu, 17 Desember 2016

Hari ini saya teringat akan seorang tokoh yang saya idolakan. Soe Hok Gie namanya. Beberapa hari yang lalu saya membaca kumpulan tulisan beliau di dalam sebuah buku yang berjudul Zaman Peralihan. Disana kita bisa membaca kumpulan tulisan Soe Hok Gie dalam beberapa kategori. Masalah Kebangsaan, Masalah kemahasiswaan, Masalah Kemanusiaan dan Catatan Turis Terpelajar merupakan kategori yang terdapat dalam buku tersebut.

Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 dan meninggal sehari sebelum ulang tahunnya, 16 Desember 1969. Hok Gie merupakan seorang tokoh mahasiswa tahun 1966 yang berperan dalam demontrasi ditahun tersebut. Idealis dan Kritis merupakan dua kata yang sangat melekat pada Gie. Sosok yang berani mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan. Jika boleh bercerita, saya mengenal sosok satu ini dari sebuah film yang berjudul Gie (2005). Film yang diilhami dari harian Soe Hok Gie yang dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demontran. Pada awal menonton film ini, perhatian saya hanya jatuh kepada pendakian gunung semata. Maklum lah karena pada saat pertama kali menonton film ini saya masih duduk dibangku sekolah menengah pertama. Setelah saya menonton film ini lagi ketika tahun pertama kuliah, saya paham akan kenapa Gie naik gunung. Dalam film Rudi Habibi, ketika Habibi ada masalah, beliau sholat untuk merenung dan menyelesaikan masalahnya. Begitu juga dengan film Gie ini. Ketika ada suatu masalah, pelarian atau perenungan masalah ini dilakukan dengan naik gunung. Tetapi, bukan hanya itu alasan Gie naik Gunung. Dalam tulisannya “Menaklukkan Gunung Slamet” (Kompas, 14,15,16,17,18 Desember 1967), Gie menulis “Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya dengan slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari slogan-slogan. Seorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indoneia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar. Disamping juga untuk menimbulkan daya tahan fisik yang kuat”. Tetapi, bukan masalah naik gunung yang ingin saya bahas kali ini. Walaupun saya juga suka naik gunung. Karena Gie sudah menjadi inspirasi dalam hidup saya.

Kehidupan Masa Kecil Hingga Remaja Soe Hok Gie


Zaman Peralihan merupakan sebuah buku yang dibuat untuk mengumpulkan tulisan – tulisan Soe Hok Gie. Jika kita ingin menelaah tulisan-tulisan Gie, maka kita juga harus paham tentang kondisi historis pada masa itu. Gie mulai produktif menulis pada rentang waktu 1967-1969. Pada saat itu merupakan periode transisi dari orde lama ke orde baru. Dengan keadaan yang seperti ini, sangat kondusif untuk munculnya pemikiran-pemikiran baru. Karena belum ada sentralisasi, belum ada penyeragaman pemikiran. Sehingga pemikiran-pemikiran baru bermunculan dari mana saja (Dr. Kuntowijoyo, Kata Pengantar Zaman Peralihan). Sejak di sekolah menengah atas, Gie sudah akrab dengan bacaan Sastra dan Filsafat. Tidak jarang Gie bolos sekolah hanya untuk pergi ke Perpustakaan di British Council atau pergi ke toko buku. tidak hanya membaca, Gie juga gemar menulis dan buku hariannya pun penuh dengan tulisannya (dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran).

Di Buku Catatan Seorang Demonstran, dairy Gie dibagi menjadi beberapa bagian, Masa Kecil, Diambang Remaja, Lahirnya Seorang Aktivis, Catatan Seorang Demonstran, Perjalanan ke Amerika, Politik, Pesta dan Cinta, serta Mencari Makna. Pada bagian masa kecil, Gie lebih banyak membicarakan tentang kehidupan sekolahnya, mulai dari dendamnya kepada seorang guru, intisari buku-buku yang beliau baca sampai kepada pulpennya yang hilang pun ditulis.

Ketika remaja, tulisan di buku hariannya mulai menarik. Bibit pemberontak pun sudah mulai mekar. Gie mulai menulis kritik-kritik terhadap pemerintah. 10 Desember 1959, Gie menulis

“… yang berkuasa sekarang adalah orang-orang yang dibesarkan di zaman Hindia Belanda almarhum. Mereka adalah pejuang-pejuang kemerdekaan yang gigih. Lihatlah Soekarno, Hatta, Sjahrir, Ali dan sebagainya. Tetapi kini mereka telah menghianati apa yang mereka perjuangkan. Soekarno telah berkhianat terhadap kemerdekaan. Yamin telah memalsukan sejarah Indonesia. Hatta tak berani menyatakan kebenaran (walaupun kadang-kadang ia menyatakan). Dan rakyat yang makin lama makin menderita. Aku besertamu, orang-orang malang”.

Pernahkan kita berfikir, kok bisa seorang yang baru berumur 17 tahun dan masih dalam tingkatan sekolah menengah atas bisa menulis atau berfikir seperti itu. Seorang yang baru berumur 17 tahun sudah bisa mengkritik pemerintah begitu kerasnya. “siapakah yang bertanggung jawab atas hal ini? Mereka golongan tua, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak mati di Lapangan Banteng. Pada masa ini Gie sudah mulai tumbuh sebagai remaja yang beda dalam segi pemikiran disbanding dengan teman teman sebayanya. Contohnya ketika Gie berdebat dengan temannya yang bernama Suparjo, tentang perkawinan. Suparjo adalah seorang fanatic katolik. Argument-argument Gie sangatlah realitis. Dia melihat bahwa pernikahan itu bukan lagi soal cinta tetapi soal nafsu belaka. Tentunya hal itu sangat tidak disetujui oleh Suparjo, dia (Suparjo) tetap pada pendiriannya bahwa pernikahan itu perintah agama untuk melanjutkan keturunan. Dari sini kita bisa lihat bahwa Gie memikirkan apa yang tidak terfikirkan oleh teman sebayanya. Tidak ada lagi yang menyebabkan Gie seperti ini melainkan karena Gie sudah banyak membaca buku.

Masih dalam masa yang sama (sekolah menengah atas). Gie pernah menulis tentang kebudayaan (music) Jepang. “Bagaimanapun juga kita harus kagum dengan Jepang. Musicnya walaupun bernada barat tapi hakekat music Jepang tak pernah hilang. Suatu dasar yang kuat tak pernah dapat dikalahkan oleh kebudayaan barat yang kuat itu”. Pernah sekali waktu (entah dimana saya lupa), saya membaca sebuah kalimat yang dilontarkan orang Jepang ketika Hiroshima – Nagasaki porak - poranda oleh Bom Atom. “silahkan ambil semua sumberdaya ku, tapi jangan ganggu kebudayaan ku”. Kita lihat sekarang bagaimana majunya Jepang. Kebudayaan mencerminkan bagaimana kehidupan suatu bangsa (daerah) tersebut. Contoh ketika wanita menggunakan cadar. Ada beberapa yang bilang kalo itu syar’i. menurut saya, jika memang dalam Islam mewajibkan cadar, mengapa ketika sholat bagian wajah perempuan boleh terlihat?. Memang kadang kita salah mengartikan mana budaya Arab dan mana budaya Islam. Coba kita berfikir dengan cermat. Jangan mentang-mentang Islam dari Arab, semua yang dari arab itu adalah Islam.


Mahasiwa Dulu dan Kini

Bibit pemberontak itu sudah semakin berkembang menjadi bunga. Bunga mawar. Harum, tetapi juga berduri. Tahun 1961, Gie sudah memasuki masa perkuliahan. Seiring dengan bertambahnya usia, maka semakin berkembang pula tulisan-tulisan di buku hariannya. Disinilah dimulai masa dimana Gie sangat aktif menulis. Kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintah pun banyak muncul ketika masa ini. Namun, yang sangat menjadi perhatian saya adalah ketika Gie membicarakan tentang mahasiswa. Bidang seorang sarjana (mahasiswa) adalah berfikir dan mencipta yang baru. Mahasiswa harus bisa lepas dari arus masyarakat yang kacau. Tetapi mahasiswa tidak bisa terlepas dari fungsi sosialnya, yaitu bertindak demi tanggung jawab sosial bila keadaan telah mendesak. Kalimat itu masih sangat melekat dalam otak saya. dari kalimat tersebut saya bisa mengambil Ibroh bahwa mahasiswa tidak hanya membahas masalah akademik saja. Tetapi, harus peka dengan keadaan sekitarnya.

Dalam buku Zaman peralihan tepatnya Bab yang membahas tentang Masalah kemahasiswaan. Tulisan pertama adalah mahasiswa-mahasiswa peking yang mengamuk. Disini Gie menulis tentang gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh para mahasiswa Universitas Peking (lebih dikenal sebagai Pei Ta). Para mahasiswa yang tidak setuju dengan pemerintahan komunis yang melenyapkan kebebasan hidup dilingkungan Universitas. Kehidupan para mahasiswa peking saat itu seperti robot yang diatur oleh para petinggi partai komunis. Melihat keadaan seperti itu, para mahasiswa mulai memberontak dengan munculnya poster-poster yang mengkritik segala hal yang perlu diganyang. Artinya, para mahasiswa Peking sadar bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. Walaupun akhirnya gerakan ini dapat dipatahkan oleh pemerintah. Menurut saya, itulah esensi dari kata mahasiswa. Seharusnya para mahasiswa tidak hanya menyoal tentang akademik saja.

Jika kita berbicara tentang mahasiswa. Mungkin referensi terbaik adalah tulisan Soe Hok Gie. Kehidupan mahasiswa dulu dan sekarang menurut saya tidak ada bedanya. Ada yang menjadi aktifis ada juga yang menjadi pasifis. Ada yang hanya kuliah lalu pulang, ada juga yang sibuk dengan organisasinya. Salah satu mimpi Gie tentang mahasiswa (mimpi-mimpi mahasiswa tua, juni 1968) adalah Gie ingin melihat mahasiswa ketika mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip dewasa. Mahasiswa yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesahalan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, golongan.

Saya ingat kejadian ditahun 2014. Ketika Pemira (pemilunya mahasiswa) di kampus saya. Waktu itu PMII dan HMI berebut kursi dalam pemerintahan Republik Mahasiswa. Kenapa ini bisa terjadi?. Saya pernah ingin masuk dalam salah satu organisasi pergerakan mahasiswa tersebut. Ketika sebelum diklat saya mengikuti sebuah perkenalan tentang organisasi tersebut. Dan saya kecewa karena pematerinya menjelek-jelekkan organisasi pergerakan mahasiswa lainnya yang notabenenya adalah lawan politiknya di kampus. Sejak saat itu bulat tekat saya untuk tidak masuk organisasi mahasiswa ekstra kampus (pergerakan) manapun. Lain lagi kejadiannya yang saya alami di himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). ketika itu ada kegiatan kongres himpunan mahasiswa jurusan matematika (lebih dikenal dengan IKAHIMATIKA) se-Indonesia yang diselenggrakan di kampus. Uang delegasi pun sudah turun dari kampus. Saya masih ingat, 500ribu dari uang delegasi itu harus masuk kas organisasi ekstra kampus yang menjadi background Ketua HMJ Matematika waktu itu. Kok bisa yaa jatah untuk delegasi bisa masuk ke dalam kas organ ekstra itu. Padahal uang itu diperuntukan untuk HMJ. Bukannya itu namanya mencuri ya? Itu korupsi bukan sih? Itu masih dalam tatanan jurusan. di tingakatan pusat (Universitas) siapa yang tahu?

Dalam tingkatan universitas, saya mengenal yang namanya Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (Dema-U). Jika boleh dibandingkan dengan Universitas sebelah sebut saja Universitas Brawijaya. Untuk tingakatan Dema-U (di Brawijaya lebih dikenal dengan nama Eksekutif Mahasiswa) mereka mengadakan Open Recruitment (Oprec) untuk mengisi kursi-kursi kosong dalam pemerintahan Republik mahasiswanya. Walaupun Presiden mahasiswanya berasal dari salah satu organ ekstra, tetapi dia tidak mengisi seluruh kursi di kabinetnya dengan yang satu organisasi dengannya. Di kampus saya hal itu tidak terjadi. Yang selama ini saya tahu ketika cabinet dipimpin oleh orang PMII, maka semua kursinya akan diisi oleh orang PMII. Mungkin alasan mereka melakukan itu adalah untuk stabilitas kabinetnya. Bahasa kerennya itu biar tidak ada yang berontak dan selalu setuju atas semua kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya.

Sewaktu saya masih menjadi mahasiswa tahun pertama, saya mengenal bahwa mahasiswa adalah Agent of Change atau agen perubahan. Coba kita bedah kata perkata. Dalam kamus Ilmiah Populer, Agent diartikan sebagai perwakilan dari suatu perusahaan atau mata-mata. Menurut saya, itu sama saja seperti pesuruh. Artinya, mahasiswa sebagai Agent of Change ada yang mendomplengi. Kita bisa lihat sekarang mahasiswa bergerak menurut golongannya saja. Mengatakan benar menurut kebenaran golongannya dan salah adalah salah menurut golongannya. Jadi, kata Agent of Change sudah tidak cocok lagi untuk mahasiswa. Yang cocok adalah Creator of Change. Mahasiswa menjadi pencipta perubahan. Bukan lagi wakil dari perubahan tersebut.

Sampai sekarang mimpi Gie belum menjadi kenyataan. Gie bermimpi ingin melihat mahasiswa ketika mengambil keputusan yang mempunyai arti politis, selalu didasarkan atas prinsip-prinsip dewasa. Mahasiswa yang berani menyatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesahalan. Dan tidak menerapkan kebenaran atas dasar agama, ormas, golongan.

SELAMAT ULANG TAHUN GIE. Semoga mimpi-mimpi mu bisa menjadi kenyataan 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar