Sabtu, 10 Desember 2016

Bingung Soal Pers: Sebuah Catatan Harian



Rabu, 7 Desember 2016

“Kebenaran tidak datang dalam bentuk instruksi dari siapapun, tetapi harus dihayati”
(Soe Hok Gie)

Kemarin malam saya berdiskusi dengan beberapa teman-teman UKM. Tentang independensi dan idealisme pers. Cukup alot diskusi waktu itu, sampai kita tidak bisa menyimpulkan dan tidak bisa mengakhiri diskusi itu. Yang membuat kita bubar hanyalah peraturan tentang penutupan gerbang kampus.

Ada beberapa hal yang saya dapatkan dalam diskusi tersebut. Pertama, tentang independensi pers. Dalam hal ini, indenpendensi tidak bisa dikatakan sebagai netral atau tidak memihak golongan tertentu. Karena 9 element jurnalisme mengatakan bahwa pers itu memihak masyarakat. Indenpendensi dalam pers terjadi ketika pers melucuti semua “atribut atau pakaian” yang melekat pada dirinya. Jenis kelamin, agama, dan lain sebagainya. Yang kedua adalah fungsi pers. Ada 4 fungsi pers. Hiburan, memberikan informasi, pendidikan dan kontrol sosial.

Jika kita berbicara tentang kontrol sosial, saya jadi ingat akan sebuah kasus yang dialami oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus saya. Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi. Salah satu tulisan mereka ada yang dilarang terbit oleh kampus. Mereka (pers Mahasiswa) memuat tulisan tentang pemenuhan hak-hak warga sekitar kampus baru UIN Maliki Malangdi Junrejo. Saya bisa menebak alasan pihak kampus melarang tulisan ini terbit. Yaa pastinya mereka tidak ingin aib atau kesalahan mereka diketahui khalayak ramai, khususnya para mahasiswa baru yang sudah termakan opini bahwa UIN Maliki Malang merupakan UIN terbaik seluruh Indonesia.

Menurut saya, lebih baik UIN Maliki Malang diterima secara wajar. Biarlah para Mahasiswa melihat beberapa aib, kesalahan atau kekhilafan pihak kampus. Para penjabat kampus hanyalah manusia biasa bukan Nabi Muhammad. Janganlah ada yang ditutup-tutupi. Makin banyak kesalahan atau kekhilafan yang direspon maka makin baik. Artinya, para mahasiswa akan sadar bahwa keadaan kampus tidak baik-baik saja. Biar mereka nanti akan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, untuk UIN Maliki Malang yang lebih baik.

Jika kita mengumpakan masyarakat kampus sebagai sebuah negara kecil, maka dalam negara itu terdapat beberapa media penyiaran. Contoh dalam di Indonesia ada Kompas, Jawa Post, Metro TV, TV one dan lain sebagainya. Di Negara UIN Maliki Malang sendiri, terdapat 3 lembaga pers. Gema, Suara Akademika dan UAPM Inovasi. Kalau kita lihat dari segi isi tulisan atau berita yang dimuat, Gema dan Suara Akademika selalu pro terhadap kampus. Dalam artian mereka selalu memberitakan tentang hal-hal yang baik saja. Seharusnya, disini Inovasi muncul sebagai penyeimbang. Kita tidak bisa memungkiri kalau kita hanya manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Kembali lagi kepada fungsi pers yaitu social control. Artinya pihak kampus harus memfasilitasi Inovasi. Jika tidak, apa bedanya pihak kampus dengan rezim Soekarno dan Soeharto. Kita semua tahu bagaimana keadaan pers pada zaman itu. Pada zaman itu yang ada hanya pers yang pro terhadap pemerintah saja. Seperti keadaan indonesia sekarang lah. Ada media yang Pro terhadap pemerintah ada juga yang kontra. Semua itu terjadi guna keseimbangan dalam hal informasi. Kita bisa lihat bagaimana Napoleon Bonaparte mendirikan lembaga Oposisi untuk mengkritik seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tentunya tujuan pendirian lembaga oposisi ini untuk menciptakan keseimbangan. Sama seperti atom, yang memiliki elektron dan proton.  Atom yang merupakan bagian terkecil adalah hasil perjuangan dua kodrat tersebut. Bisa juga dikatakan kodrat menolak dan kodrat menarik. Hal ini sama dengan Tesis dan antitesis yang menghasilkan sintesis.

Pada tahun 1965, di Indonesia terjadi pelarangan membaca bukunya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul “Tjerita dari Blora” dan bukunya Mochtar Lubis yang berjudul “Djalan Tak ada Ujung”. Dua buku tersebut merupakan manifestasi dari ketakutan. Takut akan kebebasan mimbar-mimbar kampus (Soe Hok Gie, 1968). seharusnya, sudah menjadi suatu kewajiban di dalam suatu untuk memelihara kebebasan berfikir dan berpendapat. Toh bidang seorang mahasiswa adalah berfikir dan mencipta hal baru. Dan bagi mahasiswa yang menulis tentang kesalahan atau kebobrokan kampus, harus difasilitasi oleh pihak kampus. padalah tulisan anggota Inovasi sudah melalui verifikasi. Mereka sudah memverifikasi kepada Pak Sutaman (Humas UIN). Lalu kenapa kebebasan di kampus dibatasi?

A Man is ad he thinks you can’t change it” Seorang manusia adalah seperti yang dia pikirkan, kau tak dapat mengubahnya (film ... And The Fifth Rider is Fear). Lalu siapakah kita? Kita adalah pemuda (mahasiswa). Sebagai mahasiswa kita tidak boleh mengingkari wujud kita. Wujud kita sebagai pemuda yang masih belajar dan mempunyai cita-cita yang tinggi. Seorang Pers Mahasiswa yang mempunyai cita-cita luhur untuk kampus yang lebih baik. Oleh karena itu mahasiswa berani untuk berterus terang tentang keadaan kampusnya. Dan seharusnya pihak kampus pun begitu. Berani jujur jika keadaan kampusnya tidak baik-baik saja. Kebenaran tidak datang dalam bentuk instruksi dari siapapun, tetapi harus dihayati. Dalam lingkup nasional, Dewan Pers punya UU 40 tahun 1999 untuk berinteraksi dengan pemerintah. Seharusnya dikampus pun begitu. Diatur tentang kebebasan berpendapat bagi para Mahasiswanya. Karena Mahasiswa tidak hanya menyoal tentang akademik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar