Rabu, 7
Desember 2016
“Kebenaran tidak datang dalam bentuk instruksi dari
siapapun, tetapi harus dihayati”
(Soe Hok Gie)
Kemarin
malam saya berdiskusi dengan beberapa teman-teman UKM. Tentang independensi dan
idealisme pers. Cukup alot diskusi waktu itu, sampai kita tidak bisa menyimpulkan
dan tidak bisa mengakhiri diskusi itu. Yang membuat kita bubar hanyalah
peraturan tentang penutupan gerbang kampus.
Ada
beberapa hal yang saya dapatkan dalam diskusi tersebut. Pertama, tentang
independensi pers. Dalam hal ini, indenpendensi tidak bisa dikatakan sebagai
netral atau tidak memihak golongan tertentu. Karena 9 element jurnalisme
mengatakan bahwa pers itu memihak masyarakat. Indenpendensi dalam pers terjadi
ketika pers melucuti semua “atribut atau pakaian” yang melekat pada dirinya. Jenis
kelamin, agama, dan lain sebagainya. Yang kedua adalah fungsi pers. Ada 4
fungsi pers. Hiburan, memberikan informasi, pendidikan dan kontrol sosial.
Jika
kita berbicara tentang kontrol sosial, saya jadi ingat akan sebuah kasus yang
dialami oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus saya. Unit
Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi. Salah satu tulisan mereka ada yang
dilarang terbit oleh kampus. Mereka (pers Mahasiswa) memuat tulisan tentang
pemenuhan hak-hak warga sekitar kampus baru UIN Maliki Malangdi Junrejo. Saya
bisa menebak alasan pihak kampus melarang tulisan ini terbit. Yaa pastinya
mereka tidak ingin aib atau kesalahan mereka diketahui khalayak ramai,
khususnya para mahasiswa baru yang sudah termakan opini bahwa UIN Maliki Malang
merupakan UIN terbaik seluruh Indonesia.
Menurut
saya, lebih baik UIN Maliki Malang diterima secara wajar. Biarlah para
Mahasiswa melihat beberapa aib, kesalahan atau kekhilafan pihak kampus. Para
penjabat kampus hanyalah manusia biasa bukan Nabi Muhammad. Janganlah ada yang
ditutup-tutupi. Makin banyak kesalahan atau kekhilafan yang direspon maka makin
baik. Artinya, para mahasiswa akan sadar bahwa keadaan kampus tidak baik-baik
saja. Biar mereka nanti akan memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, untuk UIN
Maliki Malang yang lebih baik.
Jika
kita mengumpakan masyarakat kampus sebagai sebuah negara kecil, maka dalam
negara itu terdapat beberapa media penyiaran. Contoh dalam di Indonesia ada
Kompas, Jawa Post, Metro TV, TV one dan lain sebagainya. Di Negara UIN Maliki
Malang sendiri, terdapat 3 lembaga pers. Gema, Suara Akademika dan UAPM
Inovasi. Kalau kita lihat dari segi isi tulisan atau berita yang dimuat, Gema
dan Suara Akademika selalu pro terhadap kampus. Dalam artian mereka selalu
memberitakan tentang hal-hal yang baik saja. Seharusnya, disini Inovasi muncul
sebagai penyeimbang. Kita tidak bisa memungkiri kalau kita hanya manusia biasa
yang tidak luput dari kesalahan. Kembali lagi kepada fungsi pers yaitu social control. Artinya pihak kampus
harus memfasilitasi Inovasi. Jika tidak, apa bedanya pihak kampus dengan rezim
Soekarno dan Soeharto. Kita semua tahu bagaimana keadaan pers pada zaman itu.
Pada zaman itu yang ada hanya pers yang pro terhadap pemerintah saja. Seperti
keadaan indonesia sekarang lah. Ada media yang Pro terhadap pemerintah ada juga
yang kontra. Semua itu terjadi guna keseimbangan dalam hal informasi. Kita bisa
lihat bagaimana Napoleon Bonaparte mendirikan lembaga Oposisi untuk mengkritik
seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Tentunya tujuan pendirian
lembaga oposisi ini untuk menciptakan keseimbangan. Sama seperti atom, yang
memiliki elektron dan proton. Atom yang
merupakan bagian terkecil adalah hasil perjuangan dua kodrat tersebut. Bisa juga
dikatakan kodrat menolak dan kodrat menarik. Hal ini sama dengan Tesis dan antitesis
yang menghasilkan sintesis.
Pada
tahun 1965, di Indonesia terjadi pelarangan membaca bukunya Pramoedya Ananta
Toer yang berjudul “Tjerita dari Blora” dan bukunya Mochtar Lubis yang berjudul
“Djalan Tak ada Ujung”. Dua buku tersebut merupakan manifestasi dari ketakutan.
Takut akan kebebasan mimbar-mimbar kampus (Soe Hok Gie, 1968). seharusnya,
sudah menjadi suatu kewajiban di dalam suatu untuk memelihara kebebasan
berfikir dan berpendapat. Toh bidang seorang mahasiswa adalah berfikir dan
mencipta hal baru. Dan bagi mahasiswa yang menulis tentang kesalahan atau
kebobrokan kampus, harus difasilitasi oleh pihak kampus. padalah tulisan
anggota Inovasi sudah melalui verifikasi. Mereka sudah memverifikasi kepada Pak
Sutaman (Humas UIN). Lalu kenapa kebebasan di kampus dibatasi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar