Jumat, 22 Desember 2017

Pembangunan VS Alam

Sabtu, 23 Desember 2017

“Ini bukan cuman urusan tanah, tapi ada juga ada kehidupan disana. Sesuatu tumbuh dari tanah (mereka hidup)”. (Aldo Leopold)

Pagi ini saya terbangun lumayan cepat. Yaa walaupun alasannya adalah untuk menonton salah satu team sepak bola favorite saya bertanding. Tetapi, setelah pertandingan itu, saya tidak bisa tertidur lagi. Yaa mungkin karena jam tidur sudah kembali normal seperti biasa. Hari ini merupakan hari libur, Long Weekend lebih tepatnya. Ini membuat saya bosan. Bingung mau ngapain. Baca buku bosen terus juga mau liburan tapi mau kemana dan yang paling penting sih liburannya sama “siapa” hehehe. Akhirnya saya putuskan untuk maen Sudoku. Tapi, lama kelamaan bosen juga sih. Yaudah akhirnya buka youtube aja dah. Setelah buka youtube, muncul salah satu rekaman diskusi disalah satu channel tentang Ekofenimisme yang dipandu oleh Rocky Gerung. Setelah menonton sedikit diskusi tersebut, saya teringat akan tulisan saya sebelumnya (Tanpa Judul). Yang sedikit isinya membahas tentang masalah pembangunan bandara di Kulon Progo. Pembangunan yang merugikan warga setempat dan ada kemungkinan bisa merusak keseimbangan alam disana.

Menurut saya (mungkin kalian juga), sampai saat ini Indonesia masih berstatus Negara berkembang (entah kapan menjadi Negara maju). Saya tidak tahu pemikiran ini tercetus darimana, saya melihat bahwa suatu Negara dikatakan maju, ketika Negara tersebut kuat dalam bidang ekonomi. Karena itulah untuk menjadi Negara maju, Indonesia harus kuat dibidang ekonomi. Untuk membuat ekonomi Indonesia maju, maka harus ditunjang dengan Infrastruktur yang mumpuni. Karena itulah kita tidak bisa lari dari yang namanya pembangunan. Tetapi, pertanyaannya adalah “Apakah pembangunan yang dilakukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan alam?” tidak bisakah pembangunan juga melihat alam sebagai suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Padahal menurut Aldo Leopold, manusia hanya sebagian kecil dari organisme di alam ini. artinya, ketika Leopold berpendapat demikian, ada relasi antara manusia dengan alam. Kasarnya ialah “Ketika alam rusak, maka Manusia juga akan rusak”


Seperti yang saya sampaikan ditulisan terdahulu (Baca: Tanpa Judul), pembangunan NYIA di Kulon Progo merusak gumuk pasir selatan yang berfungsi sebagai benteng tsunami dan sebagai mitigasi bencana alami. Artinya, jika suatu saat (semoga ga terjadi) terjadi tsunami, segala sesuatu yang berada di daerah kulon progo tidak lagi mempunyai pelindung untuk melindungi mereka dari bencana yang datang tersebut. Jika benar-benar sudah menjadi bandara dan terjadi tsunami disana, saya yakin kerugiannya tidak sedikit. Saya tertawa membayangkan hal tersebut. Karena pemerintah berinvestasi dengan membangun bandara dengan resiko kerugian yang besar dan kita tidak bisa prediksi kapan kerugian itu datang. Dan yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dipikirkan oleh pembuat Amdal sehingga proyek pembangunan ini bisa tembus. Bagaimana proyek ini bisa tembus, research model seperti apa yang dilakukan oleh si pembuat Amdal pembangunan NYIA.

Lalu, muncul lagi pertanyaan. Ketika mereka melakukan Research tentang dampak lingkungan tersebut, apakah mereka benar-benar “melibatkan” alam dalam mengumpulkan data dan menganalisis dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangunan tersebut. Atau ketika Research itu dilakukan, hanya “perhitungan” manusia yang dilibatkan. Apakah kita benar-benar sudah mengerti kehendak alam. Kalau katanya Rocky, kita masih Antroposentrik. Dalam makalah (lebih tepatnya ringkasan disertasi) yang ditulis oleh Saras Dewi dijelaskan bahwa Antroposentrisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa ukuran segala sikap etis, ataupun nilai-nilai ditentukan oleh penakaran rasionalitas manusia. Antroposentrisme secara sempit diartikan sebagai justifikasi rasional yang mendahulukan manusia atas makhluk lain atau objek lain yang ada di alam ini. Antroposentrik bisa dibilang manusia sebagai pusat. Antroposentrik sendiri menyatakan bahwa alam berharga dalam konteks kegunaannya terhadap kesejahteraan manusia. Padahal kita tahu sendiri bagaimana kita tidak sanggup melawan alam. Ketika tsunami terjadi, kita hanya bisa lari tunggang-langgang tanpa bisa melawan. Lalu, kita masih mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan sesaat. Bahasa mudahnya  seperti kita tidak bisa melawan sesuatu tetapi kita dengan sombongnya menantang sesuatu tersebut. Sungguh naïf sekali pemikiran yang seperti ini. lalu apa yang harus dilakukan? Yaa kalau untuk kasus pembangunan bandara NYIA sih, yang harus segera dilakukan adalah MENGHENTIKAN PROYEK PEMBANGUNAN NYIA tersebut.

Dalam diskusi yang dipandu oleh Rocky juga dijelaskan bahwa kita harus merubah sudut pandang kita dari Antroposentrik menjadi Biosentrik (Ekosentrik). Kita kembalikan lagi semuanya kepada alam. Kita buat win-win solution dengan alam. Apa yang diinginkan alam. Dan menurut saya sih alam hanya ingin keseimbangan. Contoh yang terjadi dengan pohon. Kan untuk menebang pohon juga ada kriterianya. Pada umur barapa pohon bisa ditebang untuk menunjang kehidupan manusia. Kalau bahasa Biologinya sih simbiosis Mutualisme. Saling menguntungkan antara manusia dengan alam yang kita tinggali ini.

Alam sendiri menunjang kita untuk melanjutkan hidup di dunia ini. seperti yang saya tulis diatas. Jika alam rusak maka manusiapun akan rusak. Dalam logika matematika pernyataan tersebut merupakan Implikasi (Jika,maka). Ada premis A dan Premis B didalamnya (A: Alam rusak, B: Manusia Rusak). Jika A, maka B. dan implikasi tidak bisa dibalik menjadi Jika B, Maka A. dalam pernyataan “Jika alam rusak maka manusiapun akan rusak” tidak bisa menjadi “Jika manusia rusak, maka alam rusak”. Tidak bisa seperti itu. Karena alam lah yang mempengaruhi manusia bukan sebaliknya. Kalau dalam penelitian kuantitatif Alam merupakan variable independent dan manusia merupakan variable dependent. Alam-lah yang menentukan bagaimana kelanjutan hidup manusia. Lalu, apakah kita rela mengorbankan kelangsungan hidup segala sesuatu yang ada di Kulon Progo hanya untuk memuaskan hasrat sesaat. Kalau bahasanya Rocky itu, apakah kita rela mengorbankan Investasi Peradaban hanya untuk Invetasi Ekonomi.

Kita kembali ke aspek ekonomi yang melatarbelakangi pembangunan NYIA. Dalam buku “The Ecology For Freedom”, Murray Bookchin menjelaskan bahwa didalam system kapitalis, alam dieksploitasi dan dikonversi menjadi komoditas. Jangan jauh-jauh ke pembangunan NYIA. Kita, secara tidak sadar telah mengekspoitasi alam hanya untuk Uang. Itu kita lakukan dengan menggalakkan pariwisata yang bertemakan alam. Gunung, pantai, air terjun dan lain sebagainya habis kita eksploitasi tanpa memikirkan makhluk hidup lain selain manusia yang menghuni tempat tersebut. Contoh apa yang terjadi di Gunung Semeru. Akibat film 5cm yang booming diakhir tahun 2012, semeru jadi rusak. Di oro-oro ombo tumbuh tumbuhan berwarna ungu yang kata orang orang sih lavender. Padahal itu benalu atau parasite. Dahulu, itu hanya tumbuh di daerah oro-oro ombo, tetapi sekarang sudah meluas. Karena ulah pendaki yang katanya pencinta alam. Mereka mengambil parasite tersebut untuk dibawa pulang sebagai bukti kalau sudah menaklukkan gunung tertinggi di pulau jawa. Dalam perjalanan pulang, bunga dari parasite tersebut tercecer dan berakibat menyebarnya parasite tersebut. Yang namanya parasite kan merusak. Yaa walaupun indah tapi kalau merusak yaa gimana yaaa. Belum lagi masalah sampah yang ditinggalkan tanpa pertanggungjawaban. Lalu kalian yang katanya pencinta alam tidak malu melakukan hal yang seperti itu?. Nah, itu kan terjadi karena eksploitasi yang kita lakukan. Untuk kasus semeru sih, andai film 5cm dibuat seperti novelnya, hal seperti itu tidak akan terjadi.

Menurut Rocky Gerung, Eksploitasi terhadap alam terjadi karena kita terlalu memakan mentah-mentah aspek teologi. Dalam Islam, di Al-Quran ditulis jika manusia diutus ke dunia (bumi) untuk menjadi Khalifah atau pemimpin. dan ini menjadikan manusia berbuat semaunya kepada dunia ini. manusia diberi nalar (akal) bukan untuk bertindak semaunya kepada alam. Tetapi, nalar digunakan agar kita bijaksana dalam menggunakan segala fasilitas di alam ini. dalam makalah diskusi yang disampaikan Saras Dewi. Rasionalitas menggiring manusia memiliki justifikasi untuk menyedot segala sumber daya alam. Kemampuan akal budi sering digunakan sebagai pembenaran manusia untuk menjadi penguasa dari alam. Alam hanya menjadi property. Alam tidak memiliki nilai intrinsic, alam hanya menjadi relevan dalam kegunannya bagi manusia. Menurut Leopold, hal tersebut menjadi penyebab mengapa kewajiban manusia tidak mengikat kepada alam. Padahal manusia hanyalah sebagian kecil dari organisme di alam ini. Jika kita ingin mengamalkan ayat Al-Quran yang mengatakan bahwa manusia merupakan pemimpin di dunia (bumi) ini, maka kita juga harus melihat ayat lain yang mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi di bumi adalah ulah manusia sendiri. Timbul lagi petanyaan, ketika Firman Tuhan sudah mengatakan bahwa kerusakan yang terjadi di bumi ini karena ulah manusia, apakah kita juga harus menjalankan firman ini? kalau kita menjalankan yaa berarti kita harus merusak bumi ini. ataukah ayat ini turun hanya untuk memperingatkan. Kalau untuk memperingatkan berarti yaa kita harus melakukan yang sebaliknya, yaitu tetap menjaga alam ini agar terus baik kepada kita.

Jika kembali kepada masalah pembangunan NYIA. Aldo Leopold mengatakan (saya denger dari Saras Dewi) bahwa ini bukan cuman urusan tanah. Tetapi ada kehidupan disana, sesuatu tumbuh dari tanah. Mereka berhak hidup, tumbuh besar. Dari tanah tumbuh sumber makanan kita. Dari alam kita bisa memperoleh kehidupan yang lebih layak. Tapi, ketika yang tumbuh di tanah adalah gedung-gedung, kita mau makan apalagi untuk tetap hidup.

Di akhir diskusi tentang Ekofenimisme yang dipandu Oleh Rocky Gerung, beliau menyampaikan statement bahwa “Eksploitasi alam oleh manusia terjadi karena adanya eksploitasi manusia atas manusia”. Silahkan renungkan statement tersebut.



To be continue……….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar