Senin, 18 Desember 2017

Tanpa Judul

Selasa, 19 Desember 2017

Ide tulisan kali ini sebenarnya berawal dari suatu postingan di Instagram akun @berdikaribook. Yang inti dari postingannya adalah tentang penghancuran gerakan kiri di Indonesia. Yaa kita tahu semua lah apa sih itu gerakan kiri. Kenapa sampai dinamakan “kiri”. Istilah sayap kiri sendiri berawal ketika revolusi Prancis yang mengacu kepada tempat duduk dewan legislative. Ketika kaum monarkis yang mendukung Ancien Regime biasa disebut kaum kanan karena mereka duduk sebelah kanan diruang legilatif. Ancien Regime bisa juga disebut Rezim Ancien ialah suatu system aristokratik di Perancis yang dipimpin oleh dinasti Valois dari Bourbon pada abad ke-14 sampai abad ke-18. Rezim ini menerapkan banyak sekali aspek Feodalisme, khususnya hak-hak istimewa untuk kalangan pendeta dan bangsawan (Wikipedia.com). Sedangkan kaum kiri merupakan kaum yang menolak Ancien Regime. Dan mereka duduk di sebelah kiri ruang legislative.  Intinya adalah Gerakan Kiri merupakan gerakan yang berpihak pada rakyat, yang melawan penindasan, yang memperjuangkan keadilan. Kalau bahasa kaum Marxis adalah meniadakan penghisapan manusia atas manusia lainnya.

Di Indonesia sendiri (dalam postingan @berdikaribook), benih-benih gerakan kiri di Indonesia dimulai pada masa Ibu Kartini. Yang dilakukan beliau adalah menulis berbagai kritik terhadap Feodalisme dan Kolonoalisme. Setelah itu, muncul-lah tokoh-tokoh seperti Semaoen, Alimin dan lain-lain pada masa Syarikat Islam yang membela para buruh dan kaum tani (baca tulisan saya yang berjudul “dari perkebunan tebu hingga Partai Komunis Indonesia). Lalu pada masa revolusi kemerdekaan ide-ide kiri direpresentasikan dalam PANCASILA khususnya pada sila tentang KEDAULATAN RAKYAT DAN KEADILAN SOSIAL.


Kejadian Kulon Progo

Kembali ke Instagram, akhir-akhir ini banyak sekali saya melihat postingan tentang pembangunan New Yogyakarta International Airport (Selanjutnya disingkat NYIA). Pembangunan yang jelas merugikan rakyat, pembangunan yang jelas tidak berpihak pada rakyat dan jelas sekali bahwa menghianati Pancasila. Sedikit saya kutip twit tentang pembangunan NYIA dari @persma_Rhetor. NYIA sendiri dibangun dilahan seluas 673 Ha yang mencakup 6 Desa, 11.501 jiwa (2.875 KK) yang mayoritas bekerja sebagai petani (dimana tanah adalah sumber utama penghidupan mereka). NYIA menghilagkan : 12 ribu pekerja tani gambas (60 ton/Ha/thn), 60 ribu pekerja tani melon (180 ton/Ha/thn), 60 ribu pekerja tani semangka (90 ton/Ha/thn), 12 ribu pekerja tani terong (90 ton/Ha/thn) dan 4 ribu pekerja tani cabai (30 ton/Ha/thn). Kalau sudah seperti ini, jika ada kelangkaan pangan tertama cabai, memang seharusnya pemerintah-lah yang disalahkan. Karena mereka mengizinkan lahan pertanian, lahan yang digunakan untuk menghasilkan pangan berubah menjadi lahan yang menghasilkan gedung yang semen-nya tidak bisa dimakan.

Kontruksi NYIA akan menghancurkan gumuk pasir selatan (ekosistem langka) yang berfungsi sebagai benteng tsunami dan sebagai mitigasi bencana alami. Ini juga hal yang sangat penting. Baru-baru ini kita tahu sendiri bagaimana gempa yang berpotensi tsunami terjadi dibagian selatan jawa. Yaa kalau terus dibangun tentunya juga berbahaya bagi calon penumpang yang menggunakan bandara tersebut. Karena NYIA sendiri berada diatas kawasan rawan bencana tsunami dan gempa (Peta Bahaya Tsunami Pusat Ruang Udara (DLR) Jerman tahun 2012). Tidak hanya masalah konstruksi dan daerah rawan bencana, pembangunan NYIA juga menghancurkan sekitar 8 cagar budaya asli yang telah menjadi bagian dari tradisi budaya local.

Jika ingin membuat pariwisata Yogyakarta lebih dilirik lagi oleh para wisatawan asing maupun local, maka segala infrastruktur memang harus diperbaiki. Tapi, apakah harus mengorbankan rakyat dan alam? Kenapa harus membangun bandara yang baru? Kenapa tidak mengoptimalkan bandara yang sudah ada di sekitar Yogyakarta, seperti bandara Adi Sucipto dan Adi Sumarmo. Saya teringat Firman Allah dalam Al-Quran (saya lupa surat dan ayatnya) yang artinya seperti ini : “Telah terjadi kerusakan di daratan dan lautan karena disebabkan oleh tangan-tangan manusia”. Jadi, jangan salahkan ketika alam mengamuk. Ketika alam mengamuk itu bukan bencana alam, tetapi proses alam menyeimbangkan diri. Ketika banjir, itu bukan bencana alam tapi, karena daerah serapan air yang sudah berbah menjadi gedung-gedung.

New Orde Baru (Orde Baru Jilid II)

Dalam majalah “Festival Kampung Kota, Dago Elos, Bandung”, saya mendapatkan sebuah data yang mencengangkan. Semakin hari jumlah hutang Negara semakin meningkat. Per Agustus 2016 saja hutang Indonesia sudah menyentuh 3.438,29 Triliun Rupiah. Pada 12 Juli 2016, Badan Direksi Bank Dunia telah menyutujui hutang pemerintah Indonesia sebesar $ 216,5 juta atau setara 2,814 triliun rupiah. Uang tersebut dianggarkan untuk proyek National Slum Upgrading (NSUP) atau program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh). Itu baru hanya untuk satu program belum lagi yang lainnya. Seperti pembangunan kereta cepat Bandung-Jakarta.

Oke lah jika pembangunan dimasa Jokowi ini gencar dilakukan, tetapi dampak dari pembangunan tersebut juga banyak negatifnya (menurut saya sih) yaa walaupun ada positifnya juga. Lalu, dengan beban hutang yang semakin banyak, siapa yang akan melunasi hutang-hutang tersebut? Ini kan sama juga seperti yang terjadi pada zaman Orde-Baru. Dimana pembangunan digalakkan tetapi juga berbanding lurus dengan semakin banyaknya hutang luar negeri Indonesia. Menurut saya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang menyiapkan pemimpin yang selanjutnya (Kaderisasi). Nah, menyiapkan pemimpin ini tidak hanya menyiapkan tokoh untuk menjadi pemimpin, tapi juga mempermudah tugas pemimpin selanjutnya. Oke lah tugas untuk pembangunan infrastruktur menjadi lebih mudah, tetapi masalah lain adalah kehidupan rakyat akibat pembangunan (gusuran dimana-mana) akan lebih berat untuk diselesaikan oleh pemimpin yang selanjutnya. Seperti apa yang terjadi dengan masyarakat Kulon Progo. Sumber penghasilan mereka adalah bertani. Pertanian kan membutuhkan Tanah, bukan gedung, bukan semen. Jika tanahnya sudah habis lalu mereka bercocok tanam dengan apa? Terus kita mau makan apa? Mau import lagi? Yaa kali Negara agraris makanan pokok pake acara di Import. Kan lucu. Walaupun ada insentif ganti rugi lahan, tapi apakah didaerah mereka yang baru mereka bisa kembali melanjutkan pekerjaan mereka sebagai petani. Oke lah kalau mereka diberikan pekerjaan pengganti. Lalu, jika jumlah petani makin sedikit dan jumlah penduduk yang membutuhkan makanan semakin bertambah. Akan terjadi yang namanya kenaikan harga pangan. Upah dari pekerjaan aja udah pas-pasan gimana nanti jika harga naik. Tentunya angka kemiskinan akan semakin memingkat. Dari data yang saya peroleh ketika mei 2017, angka kemiskinan tiap tahun naik sebanyak 0,7% /tahun.

Itu baru satu kasus yang mencerminkan Orde-Baru. Ada lagi satu ciri khas Orde-baru yang ada pada zaman pemerintahan sekarang, yaitu penangkapan para aktivis dan kekerasan terhadap warga. Saya ambil lagi contoh yang terjadi di Kulon Progo. Saya tulis kronologinya. Pada tanggal 5 Desember 2017, pukul 10.15. Aparat Kepolisian datang ke rumah warga mereka meminta kepada seluruh jaringan solidaritas yang tidak berizin keluar dari rumah. Hal tersebut dilakukan karena mereka menganggap jaringan solidaritas dan warga adlah provokasi. Pukul 10.20 polisi datang lagi bersama dengan aparat desa, mereka meminta identitas warga dan jaringan solidaritas. Pukul 10.31 sempat terjadi dorong-dorongan dengan aparat, hal tersebut berujung pada penangkapan 12 jaringan solidaritas dan dibawa ke kantor PP yang kemudian dibawa ke Polres. Data yang dihimpun oleh kepala warga Pak hermanto bocor, fajar yang mempunyai rumah di desa Palihan diseret aparat. Jalan depan masjid dibego sehingga tidak ada akses untuk lewar dan pohon tumbangkan persis didepan posko warga. Tidak hanya sampai disitu, aparat pun menangkap beberapa orang disana. Sekitar 12 orang dan didomonasi oleh Mahasiswa. Para mahasiswa dan warga yang ditangkap jelas membela kepentingan mereka. yaa kalian semua sudah bacalah tentang pembangunan bandara NYIA diatas. Yaa wajarkan jika mereka hal seperti diatas. Itu juga demi kelangsungan hidup mereka.


Penghancuran Gerakan Kiri

Seperti yang saya tuliskan diatas, gerakan sayap kiri jelas membela rakyat untuk membebaskan mereka dari kungkungan kolonialisme dan membebaskan mereka dari penghisapan manusia atas manusia. Gerekan kiri di Indonesia sendiri sudah dihancurkan ketika masa Presiden Soeharto ketika membasmi orang-orang PKI dan yang dituduh PKI. Dalam buku “Menolak Menyerah” karya Budi Kurniawan dan Yani Ardiansyah. Dijelaskan bahwa memang yang dihancurkan adalah PKI dan Keluarganya. Tetapi itu bukan hanya PKI. Dalam gerakan kiri Indonesia termasuk juga pidato, PNI-iri, tokoh-tokoh Islam yang kiri, tokoh Katolik dan Kristen yang kiri, kaum militer yang berpandangan kiri dan seterusnya juga dihabisi. Bahkan sampai diterbitkan TAP MPRS yang melarang gerakan kiri ada di Indonesia, sampai-sampai buku-buku yang berbau kiri diberangus. Sampai sekarang hasil penghancuran itu bisa dirasakan. Menurut saya, masyarakat Indonesia sekarang hanya melihat sesuatu dari satu sisi saja. Ini yaa karena Orde-baru. Karena kebenaran pada waktu itu hanya milik pemerintah. Sejarah versi selain versi pemerintah dianggap salah. Dan semuanya diatur oleh pemerintah.

Apa yang sekarang dialami oleh masyarakat kulon progo, dago elos dan lainnya yang bermasalah dengan lahan mereka itu karena sudah tidak ada yang membela mereka. Partai Politik yang katanya membela “Wong Cilik” pun diam atas apa yang terjadi disana. Lalu, gerakan sayap kiri yang jelas membela kepentingan rakyat diberangus habis. Gerakan tanpa didukung oleh rakyat hanya akan menjadi retorika saja. Seperti yang ditulis di buku “Menolak Menyerah” karya Budi Kurniawan dan Yani Ardiansyah, cuman kembang bibir saja. Setelah Pembunuhkan massal 1965, bangsa ini masuk ke zaman NEOKOLONIALISME. Sampai Hari ini.

Sekarang, masyarakat dicekik kebijakan pemerintah dan korporasi, mahasiswa dibekukan daya kritisnya. Demokrasi terancam roboh (M. Bambang Pontas R dalam Catatan penting tentang Pancasila dan Kerapuhan Demokrasi). Sila ke-4 dan sila ke-5 dikhianati. Tapi Jokowi masih bisa mengatakan “Saya Indonesia, Saya Pancasila”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar